
Banyak orang yang menetap di Yogyakarta mulai mengeluhkan kemacetan yang sering terjadi di ruas jalan utama, terutama saat jam sibuk pagi atau sore. Kemacetan makin terasa di musim liburan saat banyak kendaraan wisatawan luar kota singgah ke Yogyakarta. Jalan utama seperti Malioboro begitu riuh oleh kendaraan dan lalu lalang orang.
Ada kecemasan jika kemacetan tidak segera dicarikan solusi beberapa tahun ke depan jalanan Yogyakarta akan macet total. Pengamat transportasi Prof Dr Ing Ahmad Munawar MSc mengatakan, kemacetan seluruh ruas jalan Yogyakarta saat ini hanya 7 persen, namun 10 tahun ke depan kemacetan di Yogyakarta akan mencapai 45 persen. Artinya akan ada kemacetan di setengah ruas jalan utama Yogyakarta.
Secara ekonomi efek kemacetan mengurangi mobilitas warga serta menghabiskan banyak bahan bakar kendaraan yang sulit melaju. Namun, ada hal penting lain patut diwaspadai terkait kemacetan di ruas jalan Yogyakarta, atau kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, atau Bandung: waspada kebisingan yang ditimbulkannya.
Soundscape
Dalam ilmu Etnomusikologi dikenal istilah soundscape. Pertama kali dikenalkan tahun 1969 oleh komposer R Murray Schafer, soundscape dipahami sebagai suara lingkungan sekitar. Setiap tempat memiliki karakteristik soundscape berbeda. Maka soundscape wilayah pegunungan dengan perkotaan berbeda. Sepanjang 2005-2006 Etnomusikolog Jepang, Shin Nakagawa melakukan penelitian mengenai soundscape di jalanan Yogyakarta dan ia menemukan kota ini sangat bising. (Nakagawa, 2006).
Di jalanan Yogyakarta terdapat frekuensi suara berlebihan dari masifnya jumlah kendaraan yang lewat, suara mesin, klakson, pengumuman di speaker lampu lalu lintas dan palang pintu kereta api, suara kereta lewat dan lain sebagainya. Suara tidak bisa diabaikan karena ia memengaruhi manusia melalui 4 cara, yakni 1. Fisik (produksi hormon, detak jantung, cara menghela napas), 2. Psikologi (memicu stres atau membuat santai), 3. Kognitif (produktivitas kerja), dan 4 Kebiasaan (memicu manusia melakukan kebiasaan tertentu). (Julian Treasure, 2009). Soundscape wilayah pegunungan atau pantai yang tenang tentu memberikan efek nyaman pada orang yang mendengarkan.
Berbeda dengan suara bising berlebihan di jalanan kota akan memberikan efek negatif bagi orang yang hidup di keriuhan suara bising tersebut. World Health Organization (WHO) menyebutkan 120 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan pendengaran yang diduga disebabkan oleh suara bising. (Chepesiuk, 2005). Suara bising berlebihan di jalanan Yogyakarta tidak bisa diabaikan karena akan memengaruhi kualitas hidup manusia yang lalu lalang di jalanan dan menetap di kota tersebut.
Jika diperhatikan dengan lebih saksama, Jakarta bahkan memiliki tingkat kebisingan yang lebih besar daripada Yogyakarta. Jakarta adalah kota metropolitan yang jalanannya selalu penuh dengan kendaraan baik mobil, motor, maupun bus. Belum lagi ditambah adanya Kereta Api Listrik (KRL). Sudah menjadi rahasia umum dan seolah sudah dimaklumi bahwa “namanya juga Jakarta, sudah pasti macet.”
Sebenarnya kita tidak boleh memaklumi kondisi ini. Secara kajian soundscape, kemacetan luar biasa di Jakarta menimbulkan kebisingan suara yang luar biasa. Tentu ini memengaruhi kualitas hidup orang-orang yang menetap di Jakarta. Apabila orang-orang yang menetap di Jakarta terus menerus terpapar kebisingan dengan desibel tinggi ini, mereka tidak hanya rawan terkena sakit fisik seperti telinga yang berdengung atau bahkan mengalami hearing loss. Manusia Jakarta juga rawan terganggu kondisi kesehatan mentalnya karena kebisingan ini tentu memicu stress dan rasa frustasi.
Memilah Suara
Dalam Karawitan Jawa terdapat instrumen gender. Instrumen berbentuk bilah ini memiliki karakter suara lirih nyaris tak terdengar, tapi ada. Perlu konsentrasi dan fokus agar bisa mendengarkan pola permainan gender dengan jelas. Ini agak sulit dilakukan bagi telinga yang tidak dibiasakan fokus, karena suara lirih gender tertutup oleh instrumen lain yang berkarakter nyaring seperti saron atau bonang. Namun, saat seseorang mampu fokus mendengarkan hanya suara gender, ia akan mendengarkan indahnya karakter suara gender.
Cara memilah suara dan fokus mendengarkan suara gender tersebut dapat kita gunakan untuk memilah suara soundscape sekitar. Kita sering tidak sadar atau abai dalam mendengarkan berbagai suara sekitar. Setiap suara kita dengarkan tanpa sadar itu memengaruhi kualitas hidup kita. (Julian Treasure, 2009). Kita harus belajar mendengarkan suara dalam kondisi sadar, lalu memilah suara yang harus disingkirkan atau didengarkan.
Misalnya saat terjebak kemacetan di jalanan atau mengantre panjang di lampu lalu lintas, atau menunggu kereta api listrik (KRL) melintas, alih-alih mendengarkan suara deru mesin atau klakson yang dibunyikan non-stop, lebih baik kita fokus dengarkan suara musik yang mengalun lamat-lamat di speaker kendaraan kita. Suara musik memberikan efek relaksasi lebih baik ketimbang suara mesin.
Melatih diri memilah suara hanya salah satu cara membentengi diri dari efek negatif kebisingan suara yang disebabkan kemacetan. Strategi besar mengatasi kemacetan di Yogyakarta atau Jakarta tentu tetap harus dirumuskan oleh pakar dan pemangku kebijakan. Karena kemacetan merugikan bagi ekonomi warga, dan suara bising yang ditimbulkannya menurunkan kualitas hidup masyarakat luas.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di koran Kedaulatan Rakyat.