Surat Untukmu

Di depannya ada 3 orang berdiri berjejer lurus ke depan. Tepat di hadapannya seorang pria yang perkiraannya seumuran dengannya menggendong tas ransel dan membawa sebuah kardus. Ia menebak kardus itu berisi vas bunga, atau sebuah patung kecil berbentuk totem, atau barangkali sebuah barang elektronik semacam DVD player. Yang pasti sang pria tak mau barang dalam kardus itu rusak karena ada stiker “barang mudah pecah” dan fragile ditempel di kardus. Di depan pria yang seumuran dengannya itu ada seorang ibu yang diasumsikannya sebagai ibu rumah tangga, membawa bungkusan tipis berbalut kertas koran. Ah pasti isinya kebaya batik, atau kain tenunan indah yang akan dikirimkan ke anak perempuannya yang sedang kuliah di Jakarta.

Yang terakhir di barisan terdepan, ada seorang gadis kecil yang masih berseragam sekolah dasar, tengah menyodorkan kartu pos pada petugas. Oh, mungkin si gadis sedang menemukan kegemaran baru: menulis kartu pos, menyampaikan kabar pada sahabat pena barunya di pulau Sumatera atau Sulawesi sana. Sementara dirinya yang berdiri di urutan ke empat antrian itu kemudian memasukkan tangannya ke totebag yang permukaannya tertoreh quote dari Eddie Vedder penyanyi favoritnya “Society, you’re a crazy breed. I hope you’re not lonely without me.” Ia merogoh sebuah amplop, berisi surat yang akan dikirimkannya ke kekasihnya yang sedang bekerja di Papua, pulau paling timur Nusantara, yang tiket pesawatnya konon lebih mahal daripada tiket menuju Belanda.

Nadya selalu suka saat ia berada di kantor pos besar Yogyakarta. Walau sebenarnya Nadya bisa saja mengirimkan surat dengan memasukkannya ke kotak pos di dekat kosnya, atau menyerahkannya pada petugas di mobil pos yang biasa mangkal di dekat kampusnya pada jam kerja. Alih-alih, Nadya lebih suka mengantar surat-suratnya langsung ke kantor pos besar. Karena ia yakin dengan begitu suratnya segera masuk jadwal pengiriman tercepat, tak harus mengantri dari kantor pos cabang. Ia ingin suratnya secepat mungkin sampai ke tujuan, ke tangan kekasihnya, agar segera dibaca.

Selain suka memandang bangunan kantor pos besar Yogyakarta yang klasik, antik, dan kolonial, ia memang selalu suka suasana kantor pos. Ia suka menatap ekspresi setiap orang yang berada di sana. Suka mengamati apa saja yang orang-orang lakukan di sana. Nadya selalu terkagum-kagum pada cara mengetik mbak-mbak petugas loket penerimaan surat saat memasukkan entry data alamat. Betapa cepatnya mbak-mbak itu mengetik dengan metode sepuluh jari yang presisi. Ia suka membayangkan jangan-jangan mbak-mbak itu manusia setengah mutant yang mendapat kemampuan 11 tangan a la gurita ya, persis kisah mutant film X-Men yang dulu sering ditontonnya dengan sang pacar.

Nadya suka tersenyum geli menatap bapak satpam yang berdiri di dekat pintu masuk. Betapa tegap sang bapak berdiri, penuh ketegasan sikap, sesuatu yang harus ada dalam rangka tanggung-jawabnya sebagai petugas keamanan. Lalu lagi-lagi ia teringat kekasihnya, yang tatkala berusaha menarik simpati Nadya bersikap begitu tegas, berdiri di tengah hujan di depan teras kos-kosannya dengan buket mawar merah, menunggu sampai Nadya membuka pintu dan mengajaknya berteduh dan duduk di kursi depan. Kekasihnya setegas pak satpam, berdiri diam dengan muka garang, kemudian tersenyum saat akhirnya Nadya yang sebelumnya keras kepala mulai luluh dan mengajaknya berteduh. Selayaknya pak satpam yang akhirnya tersenyum apabila ada orang masuk pintu kantor pos, sembari berujar “selamat datang ibu ada yang bisa dibantu?”

Nadya juga suka menengok antrean bapak dan ibu di loket pengambilan dana pensiunan. Para manusia paruh baya yang ingin mengambil amplop penyambung hidup. Manusia yang asanya pasti besar, di tengah amplop pensiunan yang isinya tak seberapa, pasti terselip asa, anaknya, generasi penerusnya yang sekarang masih di bangku kuliah dapat lulus dengan nilai sempurna dan kelak dapat bekerja layak hingga mampu mengurusi kehidupan tua mereka, menghabiskan sisa hidup dengan membaca koran dan ngemong cucu. Demikian kiranya asa Nadya yang berharap segera lulus kuliah, lalu menentukan jalan hidup berikutnya dengan sang pria yang berada di Papua: akan kah setelah menikah nanti ia ikut sang suami ke bumi Papua, atau membujuk sang pria untuk menetap di pulau Jawa, yang menurut Nadya punya akses lebih baik akan segala bentuk peradaban modern.

Di tengah keramaian kantor pos, dan antrean depan loket, Nadya melamun. Lalu ia ingat, setahun yang lalu saat mengantar kekasihnya ke bandara. Setelah 2 tahun pacaran dan menghabiskan waktu berduaan di Yogya, tempat mereka menimba ilmu. Sang pria yang lulus kuliah lebih dulu harus berangkat ke Papua, bekerja sebagai staf pengajar sebuah sekolah negeri yang membutuhkan guru fisika yang berdedikasi. Ia ingat bagaimana sang pria memegang tangannya erat-erat, mengusap air mata yang menetes di muka sayunya. Memeluknya di bangku bandara sambil berbisik mesra “bukankah kamu sama yakinnya denganku bahwa jarak tak mampu meluruhkan cinta?” ah pria itu, yang kadang begitu romantis dengan letupan-letupan perasaan tak terduga, namun kadang menyebalkan karena malah berkhotbah kritik modernitas Michel Foucault di hari perpisahan di sebuah bandara internasional. Sang pria, di tengah sesenggukan Nadya masih sempat mengingatkan Nadya pada buku-buku yang sering mereka baca bersama, dan wacana bahwa teknologi modern itu makin murah dan mudah, namun kehilangan makna dan arti.

Lalu yang pria berpesan bahwa selama ia berada di Papua, mereka harus tetap terhubung dengan surat yang ditulis tangan dan dikirim melalui pos. demi menjaga keintiman dan sensasi hubungan komunikasi antarmanusia, ia memaksa Nadya menulis surat setiap kali mereka kangen, atau sekadar menyampaikan kabar “hai sayang, hari ini sepulang kuliah kebetulan aku lewat depan kedai kopi tempat kita biasa ngobrol. Mendadak aku ingin tahu, di Papua ada kedai kopi juga kan? Yang ada wi-finya di mana kamu bisa mengunduh album baru Manic Street Preachers yang baru dirilis beberapa waktu yang lalu.” Pria itu, ia menolak hubungan melalui kicauan twitter, sebentuk kalimat “halo apa kabar” di dinding Facebook, sebuah surat panjang berbentuk data biner di surat elektronik, atau obrolan di aplikasi ngobrol a la gawai. Sang pria menolak semua itu, ia memaksa Nadya berjanji, mereka harus berkirim surat, atau kartu pos selama menjalani hubungan jarak jauh. Titik, tanpa kompromi.

Ketegasan kekasihnya mirip pak satpam kantor pos yang tak akan beranjak pergi dari tempat berdirinya sebelum jam kerja habis atau kebelet pipis ke toilet. Nadya tahu persis itu. Maka ia harus mengatakan iya, jadilah selama setahun terpisah begitu jauh, Nadya dan kekasihnya berkirim surat. Walau kadang hal ini membuatnya geregetan, saat rindu membuncah tak tertahan, dan surat balasan dari sang pria tak kunjung datang. Nadya hanya bisa terdiam, duduk di kursi teras kosnya, melongok keluar berharap pak pos dengan seragam oranye datang, membawakan selaksa rindu prianya yang dibungkus amplop dengan perangko berstempel kantor pos Papua. Saat rindu tak tertahan begini kadang Nadya sering berpikir: untuk apa ia dan kekasihnya melakukan semua ini? Saat foto diri sedang bergaya di depan sebuah lukisan avant-garde di pameran seni dapat dikirim ke Papua dalam hitungan 2 detik, saat obrolan bisa terus berlanjut melalui ketikan tuts virtual hp touchscreen sambil makan pecel lele di lesehan pinggir trotoar. Kenapa mereka harus menunggu 2 minggu untuk mengetahui kabar dan kadar rindu masing-masing? Menulis surat 3 halaman dengan pena, melipat kertasnya jadi 3 lipatan, memasukkannya ke amplop, mengelemnya, menempelkan perangko dengan lem atau lebih sering menjilatnya dengan air liur, menulis alamat pengirim dan penerima, mengantar ke kantor pos, berharap perjalanan surat itu dengan armada pengangkut jawatan kantor pos tak ada halangan, lalu berharap pak pos di seberang sana segera mengantar surat itu tepat waktu. Lalu harap-harap cemas surat balasan tiba dengan lancar.

Bertumpuk-tumpuk buku yang ia dan kekasihnya baca menjadikan mereka berdua terbiasa berpikir kritis. Itu yang menyebabkan mereka selalu kritis pada berbagai isu sekitarnya, hal yang menjadikan sang pria memutuskan berangkat ke Papua untuk mengabdi, memberikan pendidikan yang baik pada putera daerah pulau yang dulu lebih dikenal sebagai Irian Jaya. Sikap kritis yang juga menjadikan sang pria mengutuk modernitas dan kebanalan informasi a la dunia maya, lalu beralih ke cara lama berkomunikasi melalui surat. Sikap kritis ini juga menjadikan Nadya melontarkan pertanyaan “apakah benar pilihan kita berkomunikasi lewat surat ini bentuk kritik pada modernitas a la informasi dunia maya? Jangan-jangan ini upaya budaya-tanding belaka? Sikap yang kita pilih untuk menjadi beda, menandingi budaya informasi maya yang sekarang menjadi keniscayaan? Apakah layak menangguhkan rindu yang tak tertahan demi sebuah prinsip naif menandingi budaya informasi maya?” ingin sekali Nadya mengirimkan surat seperti itu pada prianya. Namun, ia tak pernah jadi menulis dan mengirim surat seperti itu karena tahu prianya pasti akan membalas “Nadya tersayang, kamu pasti tahu upaya perlawanan sekecil apa pun itu berarti walau pada akhirnya tak akan mengubah apa pun.”

Maka Nadya selalu mengirim surat dengan kalimat penutup yang sama, selama setahun ini: “surat untukmu, kulampiri selaksa rindu, serta harapan kita segera bertemu lagi untuk berbincang mengenai dunia sekitar yang kadang indah kadang menyedihkan, dan betapa lucunya anak-anak kucing kita kelak.” Nadya yakin, kalimat penutup surat itu akan menguatkan prianya di perantauan. Ia ingin prianya selalu menyadari, bahwa di kota pelajar, kota seni dan budaya ini, ada Nadya perempuannya yang akan selalu berusaha sepaham dengan pemikirannya, dan perspektifnya mengenai dunia. Ada perempuan yang menulis berlarik-larik puisi dan memajangnya di blog, atau menulis sajak 280 karakter a la kicauan twitter, dan semua berisi kerinduan pada pria pujaannya di bumi Papua.

Sebuah kata pendek “mbak” dan sentuhan di bahunya membuat Nadya terkesiap, tersadar dari lamunan. Orang di belakangnya yang melakukannya. Ternyata 3 orang di depannya sudah tidak di tempat sebelumnya, Nadya yang harusnya maju terdiam di tempat karena melamun. Setelah mengucapkan maaf pada orang yang menepuk bahunya, Nadya bergegas maju ke depan. Menyerahkan amplop suratnya pada mbak petugas yang siang itu terlihat manis dan ramah seperti biasanya. Nadya ikut tersenyum, ia tahu surat itu akan segera terbang ke Papua, menuju prianya. Semoga pak pos tak keberatan ya, karena bobot rindu yang dilampirkan di surat itu bisa saja membuat pak pos kesulitan mengangkatnya. Terdengar berlebihan memang, tapi apa ada yang dapat menandingi intensitas rindu seseorang yang sedang jatuh cinta? Barangkali malah tak ada yang bisa mengukurnya.

Yogyakarta, 6 Oktober 2013.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.