
Saya ingat hari itu, selasa 13 Desember 2016. Laras, sebuah komunitas peneliti musik mengadakan diskusi bertajuk We Shall Overcome: Menelisik Aktivisme dalam Musik di Ruang Gong kompleks PKKH Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Diskusi ini adalah bagian dari forum Preliminary Notes yang rutin mereka helat di kala itu.
Di hari selasa tersebut, ada sesuatu yang berbeda: ruang untuk diskusi tampak sangat sesak dengan audiens. Lebih ramai dari diskusi yang kerap diadakan sebelumnya. Ruangan yang seharusnya hanya mampu menampung 50an orang terlihat sangat sesak dengan ratusan audiens. Sebagian besar yang tidak dapat masuk tumpah ruah di depan pintu ruangan.
Penyebab padatnya Ruang Gong hari itu jelas sekali: salah satu pembicaranya sosok yang kondang. Selain penulis/aktivis Ferdhi F. Putra dan musisi/aktivis Sabina Tiphani, orang ketiga inilah yang mampu membikin banyak orang menyemut di kompleks UGM ini: Herry Sutresna alias Morgue Vanguard alias Ucok Homicide.
Ucok menjadi daya tarik yang luar biasa. Di samping mengundang banyak orang hadir, barangkali kharisma Ucok juga yang menjadikan diskusi sore itu sangat seru. Saya ingat ketika sesi tanya jawab berlangsung, salah satu audiens bertanya kepada Ucok “jika musik Homicide dibuat untuk membela rakyat? Kenapa pemilihan musik dan lirik lagunya dibikin yang susah dipahami oleh rakyat?”
Ucok menjawab pertanyaan itu kurang lebih seperti ini “musik Homicide memang sengaja dibuat seperti itu karena sasarannya adalah para intelektual, aktivis, kombatan yang peduli dengan isu-isu kerakyatan. Atau mereka yang belum memiliki kesadaran tentang berbagai isu sosial politik namun punya akses ke pemahaman itu.”
Jawaban Ucok tersebut terngiang-ngiang terus di benak saya sampai sekarang. Saya rasa jawaban Ucok ada benarnya. Musik hip-hop Homicide, dengan lirik-liriknya yang katanya berat dan sulit dipahami itu memang lebih ditujukan kepada orang-orang yang memiliki privilese akses pengetahuan lebih baik sehingga bisa memahami atau setidaknya mencari makna dari apa yang disampaikan di musik Homicide.
Ucok, beserta dua kameradnya di Homicide bermaksud menggedor kesadaran para kaum intelek agar menerapkan intelektualisme organik. Artinya, tidak berdiam diri di menara gading. Mereka yang konon menjadi corong bangsa ini harus bisa memahami isu-isu di akar rumput, kemudian memanfaatkan privilese yang mereka miliki untuk membantu yang papa atau yang tertindas dan terpinggirkan di akar rumput.
Contoh dari apa yang dimaksud Ucok itu adalah saya sendiri. Di Bekasi circa 2006, saya bekerja sebagai buruh cuci motor. Itu setahun sebelum kolektif hip-hop asal Bandung ini memutuskan membubarkan diri. Kala itu saya menemukan musik Homicide di laman MySpace mereka. Saya tertarik dengan lagu-lagunya, serta narasi yang ditulis bahwa membuat laman MySpace adalah sebuah dilema bagi Homicide karena mengetahui situs pertemanan itu dimiliki oleh Rupert Murdoch, cukong media yang terkenal buruk reputasinya. Nah, belum apa-apa Homicide sudah membuat saya sadar tentang adanya praktik konglomerasi media dalam “tinja pembaharu dunia bernama pasar bebas”.
Akhirnya saya kemudian menebus rilisan Homicide bertajuk Tha Nekrophone Dayz. Pascamendengarkan album tersebut dan mendengarkan khotbah Ucok DKK tentang berbagai isu seperti intelektualisme organik, kapitalisme, pertentangan kelas, hingga pergerakan kaum akar rumput melawan penindasan, saya tergetok oleh sebuah pikiran: Jika saya mau berkontribusi dalam perjuangan keadilan demi kehidupan masyarakat yang lebih baik, maka saya harus kuliah, dengan bersekolah lagi saya akan memiliki akses pengetahuan dan privilese lebih untuk kemudian membantu mereka yang dianggap liyan di akar rumput. Jadilah setelah mendengarkan Tha Nekrophone Dayz saya lalu minggat ke Yogyakarta dan kuliah.
Jawaban Ucok di forum Laras yang saya jelaskan di atas juga membuat saya berpikir, akan menarik jika suatu waktu ada seseorang yang mengkaji musik Homicide secara komprehensif dalam kacamata akademis. Sebelumnya, tidak terlalu banyak tulisan-tulisan yang mengkaji Homicide secara mendalam dan mengkaitkannya dengan konteks sosial-politik di Indonesia. Jika ada, tulisan yang berceceran di berbagai media itu biasanya sekadar menjadi semacam intro atau preliminary notes yang mengenalkan apa itu Homicide, dari mana Homicide berasal, dan musik mereka sangat politis. Titik.
Maka, ketika saya mengetahui bahwa Biko Nabih Fikri Zufar membuat sebuah buku yang mengupas tuntas musik Homicide, kemudian meminta saya menulis pengantar untuk buku tersebut, saya langsung mengiyakan dan menulis dengan semangat. Akhirnya, Homicide dikaji dengan serius di ranah akademis.
Buku Homicide VS Orde Baru yang kawan-kawan pegang sekarang ini sebelumnya adalah tesis yang dibuat Biko untuk memperoleh gelar akademik master pada Program Magister Sosiologi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Wajar jika kemudian secara metodologi akademis buku ini sangat absah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Buku ini menjadi penting karena berbagai pisau bedah yang Biko gunakan seperti hermeneutika mampu dengan tokcer membedah makna-makna yang tersirat dalam lirik-lirik lagu Homicide. Sebagaimana sudah kita bahas sebelumnya, lirik dari lagu Homicide terkesan berat karena di sana termaktub banyak sekali diskursus sosial politik. Serasa makin berat karena gagasan-gagasan tersebut berkelindan secara tersirat, bukan tersurat. Homicide menggunakan berbagai majas, salah satunya metafora untuk menjabarkan berbagai problematika kemanusiaan.
Biko dengan runut dan bernas mengupas berbagai metafora tersebut dari bait ke bait menggunakan hermeneutika. Hasilnya pembaca akan bisa dengan mudah menangkap apa pesan atau makna yang disampaikan di lagu tertentu, tanpa harus mengernyitkan dahi karena berpusing ria memikirkan ini yang mau disampaikan apa, sih?
Tak hanya hermeneutika, Biko juga menggunakan sosiologi sastra sebagai pisau bedah untuk mendedah makna-makna yang terkandung dalam lirik lagu Homicide. Sebuah pendekatan yang apik mengingat Homicide sebagai sebuah kugiran hip-hop menggunakan elemen rhyme and poetry (rap) dalam musiknya. Maka, rap ini harus diperlakukan sebagai bentuk karya sastra, dan sosiologi sastra tentunya menjadi pisau bedah yang tepat.
Tidak dapat dimungkiri, hip-hop adalah musik yang subversif sejak dalam pikiran. Sejak kelahirannya, hip-hop telah menjadi medium perlawanan yang ampuh bagi kaum kulit hitam yang memprotes rasisme, segregasi, dan penindasan yang mereka alami. Hip-hop dengan lantang menantang hegemoni kaum kulit putih dan sikap rasisme mereka yang sungguh berengsek benar.
Maka, Homicide juga adalah sebuah grup hip-hop yang subversif sejak dalam pikiran. Mereka bisa saja terinspirasi dari Public Enemy dan beberapa kolektif hip-hop lain asal Negeri Paman Sam. Namun, Homicide mampu mengkontekstualkan energi perlawanan dalam musiknya ke satu mesin politik yang bikin Negara Indonesia menderita selama 32 tahun: Orde Baru.
Biko, dengan komprehensif menguliti ihwal ini. Tentang bagaimana dua orang MC dan seorang DJ asal Bandung dengan gagah berani berteriak lantang memprotes eksistensi Orde Baru. Untuk menunjukkan perlawanan Homicide terhadap Soeharto dan kroninya ini, Biko secara spesifik membedah album Homicide – Complete Discography yang dirilis pada 2017 silam. Kebetulan album ini sebenarnya adalah gabungan dari beberapa rilisan lain yaitu; Godzkilla Necronometry, Barisan Nisan, Illsurrekhsun, dan Homicide/MC Homeless-Split 12. Rilisan-rilisan tersebut lahir di era transisi kala Indonesia mengalami peralihan kekuasaan dari rezim otoriter Orde Baru ke masa reformasi.
Saya ingat bahwa di suatu waktu Ucok pernah berujar bahwa “Homicide adalah grup hip-hop yang lebih nge-punk dari grup punk manapun”. Saya paham maksud kalimat itu. Punk di sini dimaknai bukan sekadar sebagai sebuah genre musik. Punk adalah sebuah sikap, sebuah keyakinan, dan seperti lazimnya sifat punk yang juga subversif, Homicide memang nge-punk abis karena menerapkan berbagai unsur-unsur punk seperti ke-subversif-an hingga kredo Do It Yourself (DIY).
Saya senang sekali ketika membaca naskah awal buku Homicide VS Orde Baru ini. Terbagi dalam enam bagian, Biko mengkontekstualkan lirik-lirik Homicide dengan wacana perlawanan terhadap Orde Baru. Membaca tiap bab akan makin memperkaya pemahaman pembaca tentang bagaimana cara Orde Baru bekerja, bagaimana perselingkuhan antara orde baru dan neoliberalisme terjadi demi memperkaya keluarga Cendana dan kroni-kroninya, tentang janji manis pasar bebas dan globalisasi yang nyatanya cuma sekadar smoke and screen yang semu, hingga perkara fundamentalisme yang menjadi gangren yang menggerogoti kemarmonisan hidup masyarakat Indonesia.
Biko berhasil menjelaskan bagaimana Homicide mengajak kita semua membawa kapak dan menghancurkan berhala-berhala yang sebelumnya disembah di zaman Orde Baru.
Membaca pemaparan Biko membuat saya jadi memikirkan lagi tentang kenapa Homicide menggunakan lirik-lirik rumit dan penuh metafora. Saya ingat band yang tumbuh di era yang sama dengan Homicide, yaitu Pas Band, melakukan hal yang sama. Untuk mengakali sensor Orde Baru yang menyaru dalam bacot Harmoko dan Departemen Penerangan, Pas Band memutuskan untuk menggunakan lirik lagu berbahasa Inggris di album-album awalnya. Jadinya, Pas Band mampu menyampaikan pesan-pesan subversif, namun aman dari radar Orde Baru yang gemar melarang dan membreidel.
Menurut hemat saya, Homicide juga melakukan hal yang sama. Pemilihan lirik lagu rumit dengan berbagai majas tentu beralasan. Di luar perkara estetika dan keindahan berbahasa, mereka menggunakan rhyme and poetry penuh metafora agar pesan subversif mereka tidak mudah terendus Orde Baru di kala itu. Bahkan ada beberapa lirik lagu Homicide yang menggunakan bahasa Inggris juga, misalnya lagu “State of Hate” dan “Altar Ruins”.
Salah satu kekuatan Homicide lainnya adalah mereka bukan sekadar seniman cum aktivis kaleng-kaleng yang bikin lagu perlawanan namun berdiri nyaman di menara gading. Ucok misalnya. Dari sejak masih berada di Homicide, hingga grup ini bubar di tahun 2007 dan Ucok bersolo karier sebagai Morgue Vanguard atau bersama Bars of Death, tetap setia merilis karya-karya perlawanan. Namun, Ucok tak hanya berkarya. Secara nyata ia juga rajin turun ke lapangan, ke akar rumput. Ucok selalu turba ke berbagai daerah yang mengalami konflik karena dijajah oleh kuasa pemerintah atau korporasi.
Ini terlihat dari beberapa kali saya sempat menjumpai Ucok di Kulon Progo saat perayaan ulang tahun Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Di luar tugasnya menjadi MC di kolektif hip-hop, Ucok sadar benar bahwa musik subversif sekalipun harus dibarengi dengan tindakan nyata turba ke akar rumput. Ketika akhirnya saya bisa mendengarkan “Rima Ababil” dibawakan Ucok di panggung perayaan ulang tahun PPLP-KP ini, saya girang bukan kepalang dan makin sadar: benar, musik Homicide memang ditujukan kepada mereka yang punya akses pengetahuan lebih. Buntutnya, mereka-mereka ini kemudian akan turut serta bersama Ucok turun ke akar rumput dan membantu perjuangan rakyat. Membela yang tertindas, melawan kesewenang-wenangan.
Kesimpulannya, buku karya Biko dengan pendekatan sosiologis ini barangkali memang hanya akan dibaca oleh mereka-mereka itu, kaum-kaum intelektual yang punya privilese lebih. Namun, kerja keras Biko menyusun buku ini sangat patut diapresiasi karena pada akhirnya mereka yang membaca buku ini akan lebih mudah memahami makna-makna yang tersirat dalam lirik lagu Homicide. Kemudian tidak menutup kemungkinan, kan para pembaca kemudian akan tersadarkan dan tergerak hatinya untuk kemudian turba ke akar rumput dan maju tak gentar membela yang benar.
Buku Homicide VS Orde Baru ini akan menjadi catatan sejarah yang apik. Bahwa di nasion bernama Indonesia ini pernah ada sebuah kolektif hip-hop bernama Homicide, serta bagaimana kolektif ini berjibaku melawan penindasan dan kesewenang-wenangan.
Mengutip bait dari lagu “Belati Kalam Profan”, bahwa “lebih baik mati terlupakan daripada selamanya dikenang orang karena menyerah”, semoga kita bisa tetap hidup panjang dan tidak menyerah memperjuangan kebenaran. Sehingga ketika kita mati, kita akan dikenang sebagai sosok yang memperjuangkan kebenaran.
Proficiat. Selamat pecah telur untuk Biko, dan selamat membaca untuk kita semua.
Yogyakarta, 30 November 2021
Catatan: Tulisan ini adalah pengantar untuk buku Homicide VS Orde Baru karya Biko Nabih Fikri Zufar.
Wah idola SMA aku dah dijadiin buku euy, kebetulan belom punya diskografi itu euy, belom beli CDnya, yang the nekro.., ama illsurekshun dulu punya, tapi gara2 BU dijual juga sih. Wah kalo baca kayanya seru deh, ini mah layak beli liat di tokped cuman 69rb, layaklah…
Gara2 si Home inside ini gue jadi suka musik rap yang oldschool ama politik, berikut waktu SMA suka nonton2 metro tv, dengerin2 berita2 politik, hahaha, inget jaman itu euy, wah debes iyeu bukuna sigana. Bisa ngerti homi dengan filsafat hermentika, ama sosiologi sastra, mantap betul ini mah.
Makasih Om dah posting, hahaha, kudu nabung ini mah.