Membenci K-Pop a la JRX

Sembari menulis tulisan ini, saya mendengarkan album The Shape of Punk to Come milik Refused, dan, album KILL THIS LOVE milik BLACKPINK dengan satu tujuan: meyakinkan diri saya bahwa semua musik memiliki derajat yang sama di kuping kita. Terlepas apakah dia sub-kultur atau manufactured culture, semuanya adalah rentetan frekuensi bunyi yang oleh otak dianggap setara, ya pokoknya itu bunyi, reseptor di otak tidak mendiskriminasi apakah musik ini kritis atau banal.

Melalui tulisan ini saya bermaksud menyampaikan ketidaksetujuan saya ihwal pendapat bli di cuitan Twitter (yang sayangnya akun bung sudah di-suspend sehingga cuitan itu tidak bisa lagi dilihat).

Ketidaksetujuan saya berfokus pada beberapa hal. Pertama, bli bilang begini “Yang akan bikin Indonesia pinter itu, selain sekolah & perpustakaan gratis, ya ganja. Bukannya kultur pembodohan ala K-pop dengan laki-laki yg cantiknya melebihi Megawati”.

Saya punya pertanyaan perihal ini: konon katanya bli JRX ini sosok yang—entah disengaja atau tidak sengaja—memiliki imej cerdas, kritis, rebel abis. Tetapi, kalau memang cerdas dan kritis, harus banget yang lontarin pernyataan yang seksis dan male chauvinist seperti itu? Bilang laki-laki yang cantiknya melebihi Megawati. Setali tiga uang dengan setiap saat bli selalu membalik panggilan ke orang yang tidak sepemahaman dengan bli: panggilan mbak untuk laki-laki, dan mas untuk perempuan.

Ada banyak hal yang bisa membuat Indonesia pintar. Misalnya perpustakaan ataupun sekolah gratis. Akan lebih afdal jika semua itu dibarengi dengan musnahnya pola pikir seksis bahwa laki-laki cantik pantas mendapat cercaan dari orang yang menjual punk. Sebagaimana jualannya Sex Pistols yang katanya pahlawan punk global namun namanya nempel di kartu kredit bikinan Virgin Money.

Setelah akun twitter bli di-suspend, bli terus bikin postingan mara-mara di Instagram, bilang bahwa mereka-mereka yang laporin akun bli itu fasis. Lah, apa bedanya bli yang sangat maskulin dan suka melakukan tindakan male chauvinist dengan membolak-balik panggilan berbasis gender dan kerap menantang berantem orang dengan bilang “DM alamatmu sat!!”

Padahal, punk itu sendiri adalah sebuah sub-kultur yang sangat menolak maskulinitas kan? Setidaknya dalam subkultur queercore yang telah tumbuh sejak era 80-an. Queercore ini melawan masyarakat maskulin yang selalu mendiskreditkan kaum LGBTQ. Lalu, kenapa bli harus sangat maskulin sih saban waktu?

Kedua, Sekolah & perpustakaan gratis bisa bikin pinter Indonesia? Saya sepakat bli. Pendidikan adalah hak dasar setiap warga negara, mau kaya atau papa, seharusnya setiap orang di Indonesia dapat akses yang sama ke pendidikan yang baik. Ganja bisa bikin pinter? Nah, nanti dulu. Saya perlu mempertanyakan dari mana bli JRX dapat pernyataan ini? Pasalnya, saya coba cari-cari sumber yang secara ilmiah bilang ganja bikin pinter ini belum ada, nggak nemu bli.

Di komentar IG bli bilang untuk “cek situs LGN.” Nah saya sampai menilik satu per satu halaman situs Lingkar Ganja Nusantara (LGN) yang berjumlah 34 halaman itu, dan saya tidak menemukan ada artikel yang membahas “ganja bikin pinter”. Adanya, kebanyakan artikel di situ menjabarkan—sebagaimana visi dan misi LGN—ihwal manfaat ganja untuk keperluan medis, pengobatan, terapi, dan penyembuhan.

Yang jelas, secara medis memang ganja itu bermanfaat. Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat. Walau penelitian baru juga menyimpulkan bahwa pemakai ganja agak berlebihan menilai manfaat medis ganja. Karena mereka meyakini ganja bisa jadi obat depresi, epilepsi, dan penyakit lain hanya berdasarkan pada pengalaman pribadi mereka, bukan karena hasil penelitian ilmiah.

Kemudian bli menuding K-Pop sebagai musik yang tidak kritis dengan bilang “Ada musisi K-pop yg mengajari kita berpikir kritis? Muka aja udah spt palsu & seragam apalagi isi otaknya.”

Wow, saya takjub di sini. Bli memiliki kekuatan mutant semacam Professor Xavier dan Jean Grey yang mampu membaca pikiran. Bli bisa tahu isi otak seseorang hanya berdasarkan muka yang bli sebut palsu & seragam.

Tapi wajar sih bli, Dulu saya juga se-judgmental bli dan menuding “musisi pop niaga itu nggak punya akal budi kritis.” Sampai saya menemukan dan membaca buku Sound System: The Political Power of Music karya Dave Randall. Di buku itu dijelaskan bahwa bahkan musisi pop niaga pun punya daya kritis, sesuai dengan cara mereka masing-masing. Musik boleh pop niaga, daya kritis ternyata masih terjaga.

Sebagaimana Danilla Riyadi atau Rara Sekar yang musiknya ngepop, nggak punk abiz kayak band bli, namun sangat kritis dan bergerak dengan progresif menolak RUU Permusikan. Atau penyanyi keturunan Yahudi, Keren Ann yang musiknya sungguh kacangan namun dengan gahar menantang Benyamin Netanyahu untuk mengundurkan diri saat perdana menteri Israel itu mendukung kebijakan jahat Amerika Serikat.

Balik lagi ke K-Pop ya bli. Terlepas dari fakta K-Pop adalah industri “manufactured culture” bernilai 5 miliar dollar, Setiap pelaku/musisi K-Pop memiliki caranya sendiri untuk bergerak secara progresif dan revolusioner.

K-Pop dapat menjadi protest song yang tokcer. Bahkan sebuah analisis yang menggunakan big data menemukan bahwa K-Pop menjadi influence penting terhadap gerakan pro-demokrasi di Chile. Bagaimana caranya? Jadi bli, ada peneliti yang menggunakan big data dan machine learning untuk menemukan pola dan tren di media sosial di kala gerakan pro-demokrasi sedang membesar di Chile. Tujuan gerakan ini jelas: protes terhadap ketidakadilan sosial, jurang antara yang kaya dan papa, dan gagalnya layanan sosial seperti kesehatan dan pendidikan. Buntutnya, para pedemo menuntut presiden Chile, Sebastián Piñera untuk mundur dari jabatan.

Di situ peneliti ini menemukan bahwa setali tiga uang dengan Arab Spring, para pedemo menggunakan media sosial sebagai media pengorganisiran massa. Dan menariknya adalah, sebagian besar para pedemo yang bikin postingan pengorganisiran massa itu adalah penggemar K-Pop. Mereka-mereka ini memajang dengan bangga identitas K-Pop di akun media sosialnya, berupa foto para artis hallyu sebagai profile picture, sampai bio media sosial yang menyelipkan nama-nama idol seperti BTS Army, atau BLACKPINK.

Apakah model ngetweet di twitter ini dapat membuat perubahan sosial? Tentu tidak. Sebagaimana Arab Spring di masa lampau, media sosial hanya menjadi ruang pengorganisiran dan persebaran informasi. Pada akhirnya, turun ke jalan lah yang bikin perubahan nyata. Dan Chile setidaknya bisa menjadi contoh bagaimana para pemuja K-Pop melakukan aksi di jalan, dan menggunakan media sosial sebagai instrumen.

Begitu kiranya bli JRX. Perlu dipahami bahwa saya ini bukan siapa-siapa. Dan saya paham benar barangkali setelah membaca tulisan ini, bli barangkali akan berujar “Heh mbak Aris, di mana kau sat? DM alamat emailmu!!!”, atau para penggemar bli bisa saya kemudian akan menyerang saya abis-abisan di media sosial. Namun, mengutip sabda Nabi Muhammad SAW bahwa “Katakan yang benar walaupun pahit”. Maka, saya memilih mengatakan yang benar, walau nantinya saya akan menelan pil pahit.

Saya harus mengatakan bahwa saya bukan penggemar berat K-Pop, saya tidak tergabung dalam fandom K-Pop manapun, dan saya sadar benar bahwa tidak dapat dimungkiri, K-Pop adalah sebuah industri besar bernilai miliaran dollar, K-Pop adalah apa yang disebut beberapa pakar ilmu budaya sebagai “manufactured culture”, budaya yang di(re)produksi bak produk di assembly line pabrik. Bahkan Vox sampai bikin edisi khusus K-Pop loh di Netflix, seri ini menjabarkan sejarah berkembangnya hallyu. Kalau lagi selo tonton deh bli.

Saran saya, bli mainnya agak jauh dikit dong, dan baca lagi buku-buku yang bagus. Agar cara berpikir bung tidak cupet mentok di paradigma yang sungguh seksis dan male chauvinist itu. Jika tidak, saya khawatir tak hanya para fandom K-Pop yang berang dan melaporkan akun twitter bli sampai di-suspend, saya khawatir di hari esok akan ada lagi lontaran kebencian bli yang memicu kemarahan banyak orang, lalu mereport akun IG bli, dan yaaaah ilang lagi deh.

Sekian bli Ari Astina. Harap dimaklumi tulisan alakadarnya saya ini. Selamat merenung sembari mendengarkan album BTS, eh album Green Day ding. Ah terserah suka-suka bli saja mau dengerin album siapa.

Sebagai penutup, saya mau bilang bahwa selayaknya para anarko Yogyakarta yang masih menunggu bli JRX untuk bertikai, saya menanti kapan laki-laki yang insecure dengan maskulinitasnya sendiri hancur dimakan egonya sendiri.

Tabik.

Catatan: Tulisan ini saya tulis atas permintaan asumsi.co, saya pikir tadinya akan dijadikan artikel yang dimuat di situs web Asumsi. Ternyata tulisan ini dijadikan newsletter 5.45 di mana para pelanggan saja yang bisa membacanya di surel. Atas pertimbangan agar lebih banyak yang bisa membaca tulisan ini, akhirnya saya memuatnya di situs web saya.

6 tanggapan untuk “Membenci K-Pop a la JRX

  1. Wah berat ini, tapi aku suka bacanya. Well, mungkin Bli juga nggak tahu, kalau Jisoo Blackpink suka baca-baca buku filsafat, nggak cuma mejeng modal cantik doang. Jeong Ryeo Won artis yang kusuka banget bahkan kuliah di Griffith, Dia dulu pernah mengalami diskriminasi sebagai orang Asia waktu di Australia, dan akhirnya hal itu mendorong dia buat belajar bahasa Inggris lebih jago. Berangkat dari situ, dia sekarang jadi peran jaksa sebagai cara dia untuk melawan ketidaksewenangan (lewat fiksi). Wkwkwkwk.

  2. Poinku adalah bahwa JRX terlalu suka merendahkan pihak lain yang berseberangan dengan apa yang ia yakini. Dan untuk merendahkan itu, JRX mempertahankan cara berpikir misoginis yang sungguh-sungguh maskulin. Kalau mengutip lirik lagu Koil “Pelawan pemberontak yang tidak mengubah apa-apa.”

  3. musik berkualitas ga cuma dari musiknya.tapi dari liriknya,menceritakan ttg apa.nah sejauh ini ada ga lagu kpop yg isinya kritik sosial kayak ratm,atari teenage riot,lamb of god etc?

    musik rock/metal emg lebih tinggi standarny dari pop,penulis ga perlu malu mengakui itu.maennya susah.nyanyinya susah.boleh cek kok vokalis dengan range vokal terluas maen digenre apa xD

    ga ada yg judgemental dngn menganggungkan musik rock/metal dan merendahkan kpop.krn kenyataannya terlihat mana yg gampang di maenkan,punya makna yg dalam,bagus,mana yg serasa makan snack/kacangrebus xD

  4. Sebelum lanjut ke diskusi tentang “isi musik yang sarat kritik sosial dan politik”, mungkin kamu berkenan baca dulu tentang musik dan politik otentik. Politik otentik akan membuatmu bisa memaknai “yang politik” lebih dari sekadar perkara coblos-mencoblios 5 tahun sekali. https://arissetyawan.net/2019/04/29/musik-dan-politik-otentik/

    Dan mengenai tingkat kesulitan, baca-baca deh gimana K-pop–atau bentuk musik apapun–memiliki tingkat kesulitannya sendiri. Efek Rumah Kaca harus latihan nge-band selama sepuluh tahun, tanpa manggung, sampai akhirnya merilis album debut mereka. Demikian juga K-pop, para trainee sebelum menjadi idol harus berlatih dalam latihan yang super berat dan ketat. Ada yang cuma butuh beberapa bulan, ada yang sampai satu dekade hingga akhirnya diorbitkan menjadi idol.

    Lagian, menurut hemat saya, setiap musik itu tidak ada standar-standar-an yang lebih tinggi yang mana. Karena pada dasarnya musik tuh kumpulan bunyi yang ditata sedemikian rupa, dan derajatnya sama aja. Musik itu netral, interpretasi kita sebagai manusia yang menjadikannya seolah punya hierarki musik mana lebih baik dari musik mana. But still, it is just my shallow perception. So, CMIIW. Cheers 🙂

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.