Angki Purbandono: Dari Scanography Hingga Ganja

Kisah tentang 15 anak yang nyantrik kepada Angki Purbandono untuk belajar tentang scanography, proses kreatif dan toleransi, serta kedisiplinan sebagai sikap dan karakter diri.

Wisata, Wisatawan, Mancanegara. Tiga kata itu telah lekat dengan Jalan Prawirotaman sejak lama. Jalan di Yogyakarta bagian selatan itu dikenal sebagai kawasan tempat wisatawan mancanegara menginap di banyak hotel atau penginapan yang berdiri di sana

Jl. Prawirotaman juga sebagai tempat kongkow para wisatawan mancanegara tersebut karena banyaknya kafe, kedai, bar, pub, dan resto siap melayani para wisatawan asing yang lapar atau dahaga. Jalan itu sendiri terdiri dari empat bagian yang masing-masing terpisah oleh rumah dan berbagai bangunan. Dihitung mulai dari satu sampai empat.

Di Jalan Prawirotaman tiga, berdirilah sebuah rumah yang dari luar terkesan kuno dan bergaya jadoel. Di tembok teras rumah itu terpampang sebuah plakat kecil bertuliskan Rumah Kijang Mizuma. Meski tampak seperti rumah biasa pada umumnya, sebenarnya Rumah Kijang Mizuma adalah sebuah studio seni. Di hari-hari biasa, rumah ini tak pernah sepi. Selalu ada saja pengunjung bertandang.

Namun, di hari selasa tersebut (2/07) rumah itu lebih ramai dari biasanya. Pada pagi buta saat adzan subuh tuntas dikumandangkan, berdatanganlah 15 orang remaja ke Rumah Kijang. Mereka adalah 15 anak yang terpilih menjadi peserta Belajar Bersama Maestro (BBM) 2019 yang diselenggarakan Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebelumnya, mereka telah mendapat pembekalan di Gedung A kompleks perkantoran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta. Mereka kemudian naik kereta dari Jakarta menuju Yogyakarta.

Selama 12 hari, lima belas anak yang datang ke Rumah Kijang tersebut akan belajar bersama sang maestro pemilik studio: Angki Purbandono.

Sang Seniman yang Mudah Bosan

Pada masanya saat dirilis pada 2008 silam, album kedua milik band indie Efek Rumah Kaca begitu fenomenal dan monumental. Album ini memenangkan berbagai penghargaan mulai dari MTV Indonesia Award 2008, hingga Rolling Stone Indonesia.

Gambar yang terpampang di sampul album band indie ini adalah mainan seekor kambing yang kepalanya dijepit dengan sebuah jepitan jemuran. Sementara latar belakangnya terlihat hitam kelam.

Selain karena bangunan musik Efek Rumah Kaca yang menjadikan album ini sebagai karya musik favorit para penikmat musik independen di kala itu, tidak dapat dimungkiri sampul album itu dengan latar belakang gelapnya benar-benar mewakili judul album tersebut: Kamar Gelap.

Sampul album itu merupakan sebuah karya seni media baru scanography yang dibuat oleh Angki Purbandono.

Angki Purbandono adalah anomali. Dalam artian positif. Di dunia seni rupa kiwari, atau lebih spesifik seni media baru atau new media art, Angki menjadi bagian dari sedikit seniman Indonesia yang mengembangkan dan menciptakan karya-karya fotografi melalui medium mesin scanner. Metode itu dikenal sebagai scanography.

Dalam bukunya The Magic of Digital Photography: Close-up, Joseph Meehan mendefinisikan scanography sebagai gabungan dari kata scanner dan photography. Maka, scanography dapat juga disebut sebagai seni scanner photography alias fotografi alat pindai.

Sederhananya, Angki menggunakan medium mesin scanner alias mesin pindai untuk membuat karya fotografi.

Seniman berusia 48 tahun ini terlahir di sebuah desa bernama Cepiring. Secara administratif, Cepiring masuk ke wilayah Kendal, Jawa Tengah. Angki tak lahir dari keluarga seniman. Sejak kecil ia juga tidak bersinggungan dengan kesenian.

“Sebenarnya bakat kesenian saya tidak terlalu menonjol pada saat kecil, tapi kelakuan saya yang berbeda,” jelas Angki dalam sebuah presentasi yang terekam dalam kanal YouTube TedxTalks.

Seniman yang gemar mengenakan celana pendek ini memperoleh pendidikan formal seni di dua kampus di Yogyakarta. Sebelumnya ia bersekolah di Modern School of Design alias MSD (1993-1994). Sayangnya ia tak dapat menuntaskan masa perkuliahan.

Akhirnya Angki pindah kuliah di Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1994-1999). Kala itu Kampus Sewon—julukan untuk kampus ISI Yogyakarta—baru saja membuka program studi atau jurusan fotografi. Maka, Angki adalah salah satu mahasiswa fotografi angkatan pertama.

Selain pendidikan formal di sekolah tinggi seni, Angki juga mendapat banyak pengetahuan non-formal dengan mengikuti berbagai program residensi seniman baik di dalam maupun luar negeri.

***

Mudah Bosan. Itulah kredo yang kerap menempel pada para seniman kontemporer. Mereka mudah bosan terhadap suatu metode pengkaryaan. Untuk menghilangkan kebosanan tersebut sang seniman akan bereksperimen, mengeksplorasi segala kemungkinan metode atau media.

Angki, kiranya juga mengidap kredo yang sama: mudah bosan. Jebolnya ia dari perkuliahan di kampus MSD mungkin juga dipicu kebosanan ini. Dan kesaklekan segala macam metode fotografi konvensional yang ia peroleh di Kampus Sewon makin menambah kebosanan itu.

Buntutnya, Angki terus menerus bereksperimen dengan berbagai metode dalam setiap karyanya. Scanography hanyalah salah satu metode yang ia temukan dan gunakan. Selain itu, sebelumnya ia juga kerap berkarya dalam metode kolase, stop motion, hingga fotogram.

Ketik nama Angki Purbandono di YouTube, maka akan banyak ditemukan video yang semuanya memaparkan hal yang sama: Angki memiliki value atau nilai yang tinggi. Ia sangat berprestasi.

Video yang berada di peringkat pertama adalah rekaman momen saat Angki menjadi pembicara di TED Talks, sebuah forum bicara prestisius yang terkenal dengan taglinenya ‘ideas worth spreading’ dan digelar di seluruh penjuru dunia. TED Talks tidak sembarangan memilih pembicara. Harus seseorang yang berprestasi tinggi. Di situ Angki bicara tentang bagaimana seni membebaskan dirinya.

Di bawahnya ada begitu banyak video lain. Brilio News memberi judul “Seniman Jogja Mendunia Lewat Mesin Scan”. Ada lagi video dari Metro TV. Di situ Angki tengah menjabarkan apa itu Scanography.

Angki memang telah mendunia. Ia telah menyelenggarakan lebih kurang 15 kali pameran tunggal. Pameran pertamanya bertajuk KOLASMANIAC dihelat di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) Yogyakarta pada 1999. Menyusul kemudian beberapa pameran lain di luar negeri, seperti Industrial Fiesta di Korea Selatan (2006), 2 Folders from Fukuoka di Jepang (2010), hingga If You Give me Lemon, I’ll Make Lemonade, Tales From Tokyo and Tangkahan di Singapore pada 2017.

Berbagai prestasi yang Angki dapat di kancah internasional melalui karya-karya seninya tak lantas menjadikan Angki seorang yang jemawa. Sebagai seorang sosok, ia tetap membumi, bersahaja, dan peduli pada lingkungan, manusia, dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Ini terbukti dari berbagai afiliasi yang melekat pada dirinya. Angki adalah salah satu pendiri MES 56, sebuah kolektif atau ruang seni fotografi kontemporer dan konseptual di Yogyakarta. Ia juga pendiri Prison Art Programs (PAPs) dan Yayasan Seni Penjara. Kedua lembaga itu bergerak di bidang kepedulian terhadap para narapidana di lembaga pemasyarakatan.

Angki juga bekerja sebagai art director di Lingkar Ganja Nusantara (LGN), serta Yayasan Sativa Nusantara. Kedua lembaga yang disebut terakhir bergerak di bidang penelitian ganja sebagai substansi yang dapat digunakan untuk keperluan medis.

Menyatukan Perbedaan

Lima belas anak peserta BBM 2019 yang tinggal di Rumah Kijang Mizuma berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka berasal dari 13 provinsi, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Maluku, Aceh, Bali, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan.

Berasal dari Sabang sampai Merauke tentu menjadikan latar belakang setiap anak berbeda. Ada yang duduk di bangku sekolah negeri, ada yang di swasta. Ada yang sekolah SMA, ada yang SMK dan MAN. Beberapa anak duduk di bangku kelas dua, yang lain kelas tiga. Namun, meski berbeda secara latar belakang asal daerah maupun sekolah, lima belas anak ini datang jauh-jauh dari daerah masing-masing ke Yogyakarta karena memiliki minat dan tujuan yang sama: mereka ingin nyantrik, berguru pada Sang Maestro, Angki Purbandono.

Jumlah pendaftar BBM 2019 yang harus diseleksi para narasumber kurang lebih sebanyak 7000an anak. Maka, lima belas anak ini adalah yang terbaik dari yang terbaik. Mereka adalah bagian dari 300 anak yang terpilih menjadi peserta untuk berguru pada para empu atau maestro yang berjumlah 20 orang.

Selain prestasi akademik, lima belas peserta yang berguru pada Angki ini juga aktif dan memiliki prestasi di bidang ekstrakurikuler lain.

Misalnya Evinda Kurnia Rizki. Siswi asal MAN Bangkalan Madura ini aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), ekstrakurikuler jurnalistik, dan MTQ. Beberapa prestasi Evinda misalnya, ia adalah finalis lomba karya tulis ilmiah se-Madura. Ia juga memperoleh juara tiga lomba poster publik se-Jawa Timur.

Ada lagi Esya Ariel Asyam Umarah asal Sulawesi Selatan. Esya mendapatkan sertifikat “Top Ten Best Speaker” dalam lomba debat Turnamen Bahasa Inggris se-Sulawesi Selatan. Kegiatan ekstrakurikuler yang ia ikuti juga seabreg alias banyak: PMR & UKS (Palang Merah Remaja & Unit Kesehatan Sekolah), KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), BSC (Biology Science Club), FOCUS (Fhotography and Cinematography of Smansa), OSIS, dan ECOS (English Community of Smansa). Untuk yang disebutkan terakhir, Esya mengaku itu merupakan kegiatan ekstra favoritnya.

“[ECOS] organisasi yang bergerak di bidang akademik Bahasa Inggris. Salah satu organisasi favorit saya karena saya memang seorang penyembah kamus,” jelas Esya dengan nada sedikit tertawa penuh canda.

Lain lagi Tegar. Pelajar dengan nama lengkap Tegar Abdyanto Putra ini pernah mengikuti Lomba Cerdas Cermat IT (Informasi dan Teknologi) tingkat Nasional dan mendapat penghargaan juara harapan. Sementara kegiatan ekstra yang ia ikuti adalah Paskibra, PMR dan juga Sekolah Aman Bencana. Secara spesifik dalam bidang seni, Tegar banyak berkutat dengan kegiatan fotografi dan videografi. Ia suka iseng-iseng shooting atau melakukan photo session di sekitaran lingkungan sekolahnya.

Yang menarik adalah, banyak di antara anak-anak ini tidak familiar dengan seni media seperti apa yang Angki Purbandono lakukan. Kebanyakan dari mereka karib dengan bentuk seni musik, teater, tari, maupun fotografi konvensional.

Beberapa anak mengungkapkan bahwa keputusan mereka memilih belajar seni media ke Angki adalah agar ada pengalaman baru. Alif Nofal Zulfikar misalnya, pelajar asal Jawa Timur yang duduk di bangku sekolah SMK Semen Gresik ini mengaku ia karib dengan seni musik di kota asalnya. Nofal melakoni band-band-an bersama rekannya.

Namun, saat di momen ia harus memilih maestro, Nofal tidak memilih maestro dari seni musik. Alih-alih ia memilih seni media dan Angki. “Basic saya adalah belajar seni musik dengan ngeband di Gresik, justru itu kenapa saya memilih belajar seni media kepada Pak Angki. Karena saya ingin mendapat pengalaman dan pengetahuan baru,” ungkap Nofal.

Demikian juga dengan I Gede Agus Wiardita. Pelajar SMA Negeri 2 Negara, Bali ini lebih dekat dengan seni fotografi konvensional di daerah asalnya. Menurut pelajar yang akrab dipanggil Gede ini, ia mulai bosan dengan foto konvensional. Ini menjadi alasan kenapa ia memilih Angki Purbandono sebagai maestro. “Seni media itu baru banget buatku. Iya aku belajar fotografi biasa di waktu luang, tapi itu dengan kamera biasa, nah sedangkan di Bapak Angki yang saya lihat kan pakai scan. Itu menarik banget buatku,” jelas Gede.

Ayub, pelajar kelas dua SMA Negeri 2 Kei Kecil ini mengaku bahwa awalnya ia ingin memilih seni teater sebagai pilihan seni yang akan dipelajari di BBM 2019. Namun, kemudian ia mengubah keputusan dan memilih seni media.

Saat memilih maestro, ia sempat bimbang karena ada dua nama maestro di bidang seni media: Angki Purbandono dan Fendi Siregar. Namun, akhirnya dengan mantap Ayub memilih nyantrik pada Angki.

“Awalnya saya mau memilih Pak Fendi. Tapi kalau Pak Fendi kan biasa aja foto pemandangan dan lainnya. Sementara kalau Pak Angki kan lebih ke mesin scan, jadi saya kayak penasaran begitu. Kalau foto biasa kan semua orang sudah bisa toh dari HP juga bisa,” tutur Ayub.

Berasal dari latar belakang berbeda: suku, ras, bahasa, hingga latar belakang kesenian yang digeluti tidak menjadi halangan bagi para peserta untuk belajar seni media ke Angki. Justru semua perbedaan itu dijadikan sebuah kekuatan dan nilai lebih. Bersama-sama, mereka menyatukan perbedaan. Baik Angki sebagai maestro, maupun para peserta mengamini benar tema BBM tahun ini: kreatif dan toleran.

Apalagi Angki Purbandono yang ibarat menjadi ayah bagi 15 anak selama dua minggu, rupanya memiliki metode pengajaran dan pembelajaran yang unik. Metode ini menjadikan proses belajar anak-anak menyenangkan. Metode ini berkelindan erat dengan tujuan dan maksud diadakannya program Belajar Bersama Maestro 2019: pengembangan kreatifitas dan penguatan karakter peserta. Serta tema BBM 2019: kreatif dan toleran.

Metode unik Angki ini mengedepankan penguatan karakter peserta. Metode yang dimaksud adalah, Angki sangat mengedepankan kedisiplinan dalam proses pembelajarannya bersama para peserta BBM 2019. Kedisiplinan itu diterapkan dalam segala aspek selama proses pembelajaran 12 hari. Baik itu di Rumah Kijang Mizuma, maupun di luar rumah saat ada agenda kunjungan ke lapangan. Selain kedisiplinan, Angki menekankan kepada anak-anaknya tentang pentingnya value atau nilai diri diri.

Disiplin adalah Koentji

Senin (8/07) itu cuaca di Yogyakarta sangat cerah. Agenda para peserta saat itu adalah berkunjung ke Omah Lor untuk belajar tentang permaculture dan bagaimana menjaga alam. Angki tidak dapat turut serta karena sedang dalam keadaan kurang enak badan.

Di lereng Merapi yang dingin, tiba-tiba telepon genggam setiap peserta (termasuk asisten Angki dan pendukung kegiatan BBM 2019) saat itu berbunyi serempak. Artinya, ada pesan baru di grup WhatsApp BBM 2019 – AngkiPu.

Ternyata pesan yang masuk dikirim oleh Angki. Isinya, ia sedikit naik pitam karena menemukan bahwa sebelum meninggalkan Rumah Kijang untuk menuju Omah Lor, anak-anak tidak membereskan kamar tidur, ruang kerja studio, dan beberapa bagian rumah lainnya. Padahal sebelumnya sudah ada kesepakatan bahwa anak-anak harus menjaga kebersihan dan kerapian Rumah Kijang.

“Hi anak”ku…papapu (sebutan akrab Angki oleh anak-anak. Sementara istri Angki, Dian disebut sebagai bubu: red) sdh bilang; sehabis bekerja di meja komputer, tolong dibersihkan! Jangan seenaknya ambil dan taro barang berceceran. Setelah pake kembalikan yg bener! Kursi berantakan! Meja masih spt kemaren! Tolong diperhatikan ya! Kebersihan adalah cerminan dari sikap…paham! Kamar juga harus diperhatikan! sebelum kalian keluar, apalagi di rumah orang (bertamu) harus dibersihkan/dirapikan dulu! AC depan juga belum dimatikan,” tulis Angki dalam pesan WhatsApp tersebut.

Bagi Angki disiplin adalah koentji. Kunci dari keberhasilan. Disiplin adalah harga mati: sebuah sikap yang menandakan seberapa nilai atau value dari seseorang. “Kalau menjaga kebersihan saja tidak bisa disiplin, bagaimana mungkin mau disiplin dalam berkarya atau bekerja,” ujar Angki.

“Karena kalau kamu tidak disiplin ya kamu nggak akan punya pekerjaan, dan kita tidak akan pernah dipercaya orang. Pada level apapun,” imbuhnya.

Para peserta yang setelah beberapa hari nyantrik pada Angki telah paham benar bahwa bagi suhu mereka itu, disiplin adalah harga mati. Maka, mereka segera menyadari keteledoran mereka dan sekembalinya dari belajar tentang permaculture dan merawat alam dari Omah Lor, mereka langsung meminta maaf pada papa mereka itu dan kemudian membereskan Rumah Kijang.

Metode Disiplin ini diterapkan Angki dari hal paling kecil sampai yang paling besar. Dari yang paling kecil seperti menjaga kebersihan dan kerapian studio, ketepatan waktu dalam mengikuti setiap jadwal program yang diadakan, hingga ke hal besar seperti bagaimana cara membuat karya seni melalui metode scanography.

Metode kedisiplinan Angki jelas memenuhi maksud dan tujuan pembelajaran BBM 2019: pembentukan kreativitas dan penguatan karakter peserta. Sejak awal, BBM 2019 dimaksudkan untuk lebih membentuk karakter para peserta melalui proses kreatif kesenian tiap maestro. Bukan bertujuan menjadikan para peserta menjadi penampil seni atau seniman.

“Sejak awal bahkan pihak Kemendikbud mewanti-wanti para maestro bahwa mereka dilarang menjadikan para peserta menjadi seniman. Yang perlu diajarkan adalah tentang pembentukan karakter,” jelas Angki.

Dalam rangka mengajarkan kedisiplinan, Angki mempraktikannya secara langsung. Seniman yang selain gemar memakai celana pendek juga gemar mengenakan topi ini selalu datang ke Rumah Kijang Mizuma untuk menyampaikan berbagai materi tentang Scanography pada seminggu pertama kegiatan. Kebetulan Angki dan Dian memang tinggal di satu rumah yang berbeda. Tidak di studio itu.

Di minggu pertama, Angki absen ke studio selama dua hari karena sakit pada hari ketiga dan keempat kegiatan. Dokter mendiagnosis asam lambung Angki naik, sehingga Angki harus beristirahat total di rumah. Meski dalam keadaan sakit dan harus bedrest di rumah, Angki tetap menunjukkan integritas kedisiplinannya sebagai pemateri dengan cara memantau anak-anak melalui grup WhatsApp.

Saat itu materi yang disampaikan oleh Kiki dan Bunga, asisten Angki, adalah mengenai mencari berbagai objek untuk kemudian disusun dan dipindai dalam mesin scanner. Angki mewajibkan seluruh anak-anak memfoto objek yang mereka temukan lalu mengirimkannya ke grup WhatsApp. Angki kemudian memberi nasehat dan masukan ke setiap anak: apa yang kurang dan perlu ditambahkan dari objek itu, baik secara komposisi, penataan, hingga hasil scanning. Selama seharian itu Angki tetap hadir. Meski lewat aplikasi ngobrol WhatsApp.

“Karena [BBM] mewajibkan pembentukan karakter, ya itu karakterku disiplin, maka mereka harus belajar itu. Nggak hanya anak-anak peserta, bahkan Kiki dan Bunga, atau istriku sekalipun harus ikut pola disiplinku,” tegas Angki.

Lebih lanjut Angki menjabarkan bahwa sikap disiplin itu akan memengaruhi segala aspek kehidupan para peserta, termasuk dalam ihwal berkarya seni. “Jadi, ini pasti akan berkesan selama hidup mereka. Dan saya ingin setelah mereka pulang ke rumah masing-masing mereka berubah gitu. Ada perubahan itu kan nanti orangtuanya atau siapapun ikut seneng gitu, jadi bukan hanya lembaga [Kemendikbud: red] yang memilih mereka, tapi juga orang terdekat mereka, kembali lagi keluarganya, saya harap mereka seneng ada perubahan,” imbuhnya.

Dalam rangka membentuk karakter disiplin itu, jadwal program yang Angki jalankan tak hanya berkutat dengan mesin scanner merk Epson di studionya. Alih-alih para peserta juga diberi berbagai agenda di luar studio. Jika seminggu pertama program BBM 2019 Angki Purbandono banyak dihabiskan di studio untuk belajar berbagai proses kreatif seperti pembuatan kolase hingga praktik scanography, maka pada minggu kedua Angki mengajak para peserta untuk banyak melakukan jalan-jalan ke luar. Tetapi jangan dibayangkan ini sebagai sebentuk plesiran biasa yang sekadar cari kesenangan. Angki sekali lagi menekankan bahwa plesiran ini masih dalam rangka belajar.

Minggu (7/07), anak-anak diajak berkunjung ke tempat salah satu kawan akrab Angki. Memet, atau akrab dipanggil Metz memiliki sebuah rumah yang sekaligus dijadikan Homestay bernama Rumah Senjakala. Rumah itu berada persis di pinggir kali. Di situ anak-anak belajar banyak hal tentang bagaimana melakoni banyak bidang dalam satu kali dayung. Bagaimana tidak? Dalam ceritanya, Metz menjabarkan bahwa ia adalah seorang musisi, DJ, dan sekaligus merangkap mengelola sebuah Homestay.

Kisah hidup Metz tentu menginspirasi para peserta: hidup harus bisa multitasking.

Kunjungan berikutnya yang berkesan adalah saat para peserta dibawa ke Omah Lor pada Senin (8/07). Di rumah yang mempraktikan budaya permaculture itu, anak-anak memperoleh pembinaan mengenai bagaimana budaya permaculture. Pematerinya Dhira, salah satu kawan baik Angki juga. Peserta juga memperoleh materi tentang pengelolaan sampah, pembuatan kompos, dan bagaimana kita harus mencintai alam sekitar kita.

Ini tentu menjadi sebuah pengalaman menarik yang sangat berkesan dan membekas di hati para peserta. Haidar misalnya, peserta asal Bengkulu ini mengungkapkan bahwa ia sangat senang memperoleh materi di Omah Lor, dan ingin mempraktikannya di daerahnya saat kembali pulang nanti.

“Hal kecil yang mau saya terapkan [di daerah asal di Bengkulu: red] tentang pengelolaan sampah. Di daerah saya, kawasan wisata pantai itu penuh sampah, itu karena kebiasaan buruk para pedagang yang buang sampah sembarangan. Saya ingin menerapkan ilmu yang saya dapatkan dari sini [Omah Lor: red] untuk menangani problem itu,” kata Haidar.

Plesiran berikutnya tak kalah menarik. Pada rabu (10/07), para peserta dan sang maestro berangkat ke Magelang. Dengan menumpang sebuah mobil elf dan mobil SUV rental-an, mereka menempuh perjalanan lebih kurang satu jam dari Yogyakarta ke Magelang. Tempat yang akan dikunjungi ada dua: OHD Museum dan Candi Borobudur.

Kunjungan ke OHD Museum tentu sangat berkesan bagi anak-anak. OHD mengacu pada Oei Hong Djien, sang kolektor seni rupa termahsyur di Indonesia. Selain sebagai kolektor, OHD juga memiliki gelar doktor. Dan ia adalah salah satu taipan tembakau paling sukses di seluruh Indonesia. Berkat keuntungan besar jual-beli tembakau itu, OHD kemudian memiliki modal besar (atau tak terhingga) untuk mulai menjadi kolektor seni. Ia rajin mengikuti, mengkaji, dan mengkoleksi berbagai karya seni rupa Indonesia.

Karya-karya yang dibeli OHD lantas dipamerkan pada khalayak dalam bentuk sebuah bangunan bergaya arsitektur unik dengan nama OHD Museum.

Bukan hanya terkesan oleh berbagai karya seni rupa yang dipamerkan di OHD Museum, para peserta BBM 2019 siang itu juga terkesan oleh sosok sang doktor. Ya, siang itu Dr. Oei Hong Djien datang secara khusus ke OHD Museum untuk menyambut para peserta. Sebuah kesempatan langka mengingat sang doktor selalu berkeliling dunia dengan berbagai agenda.

Ternyata OHD dan Angki memiliki hubungan yang cukup akrab. Itu alasan kenapa OHD mau meluangkan waktunya untuk menyambut para peserta BBM 2019 di museum miliknya. OHD secara pribadi mengoleksi beberapa karya seni media Angki. Bahkan beberapa anaknya pun turut serta mengoleksi karya Angki. Jika diamati lekat-lekat, hubungan keduanya bukan hanya sekadar transaksional antara seniman dan kolektor. Hubungan mereka lebih ke antara karib.

“Nanti Pak OHD akan menyambut kalian. Ini kesempatan yang sangat langka karena beliau orang yang sangat sibuk. Jadi, ingat anak-anak, banyak bertanya adalah emas, kalian nanti harus banyak bertanya pada beliau,” jelas Angki saat memberi instruksi kepada anak-anak ketika baru sampai di OHD Museum.

Dan benar saja. Anak-anak banyak bertanya. Sang doktor dengan sangat bersahaja dan membumi selalu menjawab setiap pertanyaan dengan ramah tamah. Ia juga banyak menambahkan kisah hidupnya ke anak-anak: jatuh bangunnya, perjuangan hidupnya, hingga ke perkara personal saat istrinya meninggal dunia dan kemudian OHD melipur dirinya dari lara karena ditinggal sang istri tercinta dengan cara mengabdikan dirinya secara total pada perkembangan seni rupa di Indonesia.

Ini tentu menjadi sebuah pembelajaran penguatan karakter yang sangat baik untuk para peserta: Hidup adalah perjuangan tanpa henti-henti, tak usahlah kiranya menangisi hari kemarin. Bahwa tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma-cuma. Harus ada usaha dan doa dalam kehidupan. Bahwa untuk meraih kesuksesan—di bidang apapun—kerja keras adalah kunci.

Pelajaran berikutnya yang dapat dipetik dari OHD adalah: ketika sudah mencapai titik yang bagi banyak orang dianggap sukses, sikap tetap bersahaja dan membumi harus tetap dipertahankan. Bahwa menjadi jemawa serta angkuh pascasukses adalah suatu kondisi yang harus dihindari.

Para peserta dan pendamping program BBM 2019 menutup kunjungan ke OHD museum siang itu dengan berfoto bersama di dua titik: depan galeri, dan depan gedung OHD di pinggir jalan. Baik itu Angki, OHD, atau anak-anak, semuanya menunjukkan wajah sumringah. Pertanda bahwa kunjungan ke OHD Museum siang itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan berkesan.

Setelah menuntaskan kunjungan ke OHD Museum, rombongan menuju Rumah Tidar. Ternyata ini adalah semacam galeri milik OHD juga. Namun, bedanya, jika OHD Museum dibuka untuk umum, maka Rumah Tidar adalah galeri tertutup. Mereka yang dapat mengunjungi Rumah Tidar harus mengajukan izin secara resmi dulu ke pihak OHD, atau mereka adalah tokoh yang secara khusus diundang oleh OHD.

Ini wajar. Rupanya karya-karya yang dipajang di Rumah Tidar terbilang sangat berharga. Semua karya memiliki benang merah yang menjabarkan kondisi Indonesia dari zaman baheula sampai zaman kiwari. Karya dari para maestro terpampang di temboknya. Mulai dari era Affandi, Nasirun, dan tentu saja karya Angki Purbandono juga terpajang di sini.

Karya instalasi bertajuk TV Lovers ini merupakan karya yang sangat berharga. Instalasi raksasa neon box berbentuk 234 kotak televisi ini sempat ditawar untuk dibeli di luar negeri. Namun, Angki menolak karena ia berharap karya tersebut dikoleksi oleh orang dalam negeri. Dan pada akhirnya OHD lah yang mengkoleksi karya tersebut.

TV Lovers adalah karya istimewa karena karya ini merupakan salah satu wujud pengejawantahan dari sikap kedisiplinan Angki Purbandono. Untuk menciptakan karya ini, secara konsisten dan disiplin Angki mengamati dan memfoto tayangan televisi selama enam tahun. Mulai pada 2004, hingga 2010 saat karya ini kemudian diwujudkan dalam bentuk instalasi.

Kenapa harus selama itu? Karena Angki ingin menangkap momen dan berbagai perubahan yang terjadi. “Selama enam tahun, perubahan yang terjadi di Indonesia sangat signifikan, dan ini menurut saya perlu didokumentasikan dalam karya seni rupa,” ujarnya.

Lebih lanjut Angki menganggap karyanya tersebut sebagai sebuah bentuk jurnalisme alternatif. “Ya inti jurnalisme kan melaporkan, mewartakan, jadinya saya mewartakan kondisi Indonesia selama enam tahun melalui karya ini,” imbuh Angki.

***

Setelah menuntaskan kunjungan di OHD Museum dan Rumah Tidar, rombongan menuju kompleks wisata dan cagar budaya Borobudur. Sebelum masuk ke kompleks, rombongan melakukan Ishoma dulu di sebuah resto dekat Borobudur. Kemudian baru rombongan masuk.

Di Borobudur, anak-anak tak hanya berfoto dan bersenda gurau seperti lazimnya wisatawan lainnya. Sekali lagi Angki menekankan tujuan plesiran ini selain untuk have fun adalah untuk belajar, belajar, dan belajar. Maka, anak-anak diharuskan mengamati dan mempelajari segala sudut Candi Borobudur. Mereka juga harus mengumpulkan memori, kenangan tentang Borobudur. Memori ini nantinya menurut Angki akan dapat digunakan sebagai bahan saat anak-anak mencipta karya scanography.

` Waktu menunjukkan pukul 5 petang. Kompleks Candi Borobudur akan ditutup. Rombongan kemudian keluar dari kompleks candi menuju ke parkiran untuk naik kendaraan. Setelah semua berkumpul, kendaraan berangkat. Rombongan pulang ke Yogyakarta untuk menuju Rumah Kijang Mizuma.

Malam itu, setelah seharian plesiran ke Magelang, selain menulis diary kegiatan harian yang juga wajib dilakukan, para peserta juga punya satu PR tambahan: mengumpulkan kembali memori-memori kunjungan mereka ke Magelang tadi siang. Baik kunjungan ke OHD Museum dan Rumah Tidar, serta ke Borobudur.

Mereka harus melakukannya karena di hari berikutnya, kamis (11/07) akan ada kelas scanography. Di situ Angki mewajibkan anak-anak menggunakan memori kunjungan sebagai bahan untuk menyusun karya scano.

Dalam istilah Angki, anak-anak tidak boleh sekadar ‘membuat karya scanography’. Namun, anak-anak harus ‘mengumpulkan warisan melalui scanography.” Warisan yang dimaksud, salah satunya adalah memori kunjungan ke Magelang siang sebelumnya.

Mengumpulkan Warisan melalui Scanography

Kamis (11/07) pagi. Angki mengirim pesan ke grup WhatsApp. Isinya adalah pemberitahuan bahwa pukul sepuluh nanti akan ada tamu bertandang ke Rumah Kijang Mizuma, tamu tersebut adalah teman dekat Angki, seorang seniman yang juga bergerak di ranah seni media era kiwari.

Karya-karya sang tamu yang berupa foto digital banyak dikenal orang karena kerap seliweran di media sosial. Karya itu merupakan hasil sulap dengan piranti lunak Adobe Photoshop. Nama julukan seniman tersebut Dewa Photoshop, sedangkan nama aslinya adalah Agan Harahap.

Ketika akhirnya Agan datang, para peserta segera berkumpul di ruang tengah studio. Angki dan Agan duduk di depan, anak-anak mengerumuni mereka. Ada yang duduk di kursi, ada yang lebih suka santai duduk di lantai. Mereka menyimak dengan saksama ketika Agan menceritakan bagaimana proses kreatifnya. Sesekali Angki menimpali ujaran Agan dan menambahi cerita-cerita proses kreatif lainnya.

Di sini proses pentransferan pengetahuan secara signifikan terjadi. Setali tiga uang dengan proses-proses di hari sebelumnya. Pada dasarnya Angki menerapkan model egalitarian dalam proses pentransferan ilmu. Artinya di sini tidak ada guru dan murid. Angki selalu menekankan bahwa di sini mereka sedang belajar bersama. Maka, para peserta BBM harus aktif menanggapi, bertanya, atau bahkan menyanggah jika menurut mereka ada yang kurang pas dari materi yang dipaparkan.

Di tembok terpendar slide foto-foto editan karya Agan. Dan para peserta geleng-geleng kepala dan kagum terhadap kemampuan Agan dalam menggunakan piranti lunak Photoshop untuk menyunting sebuah foto. Terkadang gelak tawa tak terhindarkan saat beberapa foto terlihat sangat lucu dan kocak.

Di penghujung sharing dengan Agan Harahap. Ternyata Agan telah menyiapkan hadiah untuk dua penanya dengan pertanyaan terbaik. Hadiah tersebut berupa kaos dengan gambar yang tercetak adalah karya foto Agan. Kedua peserta yang menerima hadiah tersebut, Tegar dan Anjar girang bukan kepalang menerima hadiah tersebut. Mereka berdua bersama Angki dan Agan kemudian berfoto bersama.

***

Usai sesi berbagi dari Agan Harahap, agenda berikutnya setelah makan siang adalah kelas Scanography. Di sini ada hal yang unik serta inspiratif terjadi. Kelas scanography ini merupakan kelas terakhir. Karena sisa waktu program BBM 2019 tinggal tersisa dua hari lagi. Maka, kelas ini adalah semacam kelas pamungkas yang merangkum semua yang telah peserta pelajari di kelas-kelas scanography di minggu sebelumnya.

Anak-anak mulai menyusun objek-objek yang mereka kumpulkan sejak minggu sebelumnya. Kali ini, mereka mendapat banyak sekali objek tambahan. Baik berupa objek fisik seperti oleh-oleh kerajinan tangan atau bahkan tiket masuk ke candi Borobudur yang mereka dapat sebelumnya, maupun objek non-fisik: memori atau kenangan tentang plesiran mereka di hari sebelumnya itu.

Pernyataan Angki dalam mendidik peserta saat belajar di kelas minggu lalu tampaknya melekat benar di benak para peserta. Pernyataan Angki itu unik. “Kalian masih di tahap ‘membuat objek’, bukan ‘mengumpulkan objek’,” tutur Angki waktu itu.

Artinya, Angki menegaskan benar-benar perbedaan keduanya. Membuat objek berarti para peserta hanya mengumpulkan objek-objek yang bisa mereka dapatkan alakadarnya, lalu secara serampangan menyusunnya dalam satu medium untuk kemudian dipindai dalam mesin scanner. Secara estetis model ini mungkin menghasilkan karya yang tampak indah. Namun, karya ini akan miskin makna dan narasi.

Maka, Angki menekankan sungguh-sungguh bahwa para peserta harusnya ‘mengumpulkan objek’. Artinya, objek-objek yang dipilih harus memiliki makna tertentu bagi mereka. Objek tersebut adalah semacam warisan yang mereka kumpulkan, kemudian dipindai melalui mesin scan dengan metode scanography, dan kelak saat pulang ke daerah masing-masing, para peserta dapat membagikan warisan tersebut ke semua orang baik itu keluarga maupun teman mereka.

Di hari terakhir kelas scanography terlihat jelas anak-anak sudah mengerti benar perbedaan keduanya. Beberapa kali Angki dan Kiki, asistennya, mengecek karya anak-anak, dan mereka memandang sudah ada perbedaan yang sangat kentara. Karya-karya itu menjadi lebih memiliki value atau nilai, sesuatu yang Angki selalu tekankan berbarengan dengan ihwal kedisiplinan.

Mengenai value atau nilai. Agar anak-anak mengerti benar apa maksud dari nilai itu, ia menceritakan seluruh kisah hidupnya pada para peserta. Semuanya diceritakan secara komplet tanpa tedeng aling-aling. Angki rupanya adalah tipe sosok yang juga sangat mengedepankan keterbukaan. “Karena saya hanya hidup sekali. Jadi alangkah baiknya kalau pengalaman-pengalaman yang saya punya saya bagikan ke semua orang, agar jadi pembelajaran,” tuturnya.

Keterbukaan tanpa tedeng aling-aling itu misalnya terlihat saat Angki menceritakan masa-masa ia masuk penjara karena kasus kepemilikan ganja. “Ya katakanlah dari ganja, saya dipenjara kan itu berarti saya bertanggungjawab atas apa yang saya lakukan,” ujar Angki.

Saat masuk penjara itu Angki merasa value atau nilainya sebagai seorang manusia turun. Maka, untuk mengembalikan nilainya sebagai manusia kembali, selepas keluar dari penjara, Angki kemudian mendirikan Prison Art Programs (PAPs) dan Yayasan Seni Penjara. Keduanya adalah lembaga resmi yang bersinggungan dengan ihwal para narapidana di dalam penjara

Angki juga bekerja sebagai art director di Lingkar Ganja Nusantara (LGN), serta Yayasan Sativa Nusantara. Kedua lembaga ini secara legal berupaya menggenjot adanya peraturan perundangan yang melegalkan ganja demi tujuan medis atau kesehatan.

Mengenai laku Angki sebagai pegiat dan penggiat di Lingkar Ganja Nusantara atau LGN, Angki menyatakan bahwa perjalanan dan perjuangan mereka untuk melegalkan ganja sebagai substansi medis masih jauh panggang dari api. LGN sendiri telah berusia sepuluh tahun. Selama itu, tampaknya belum ada tanda-tanda bahwa pemerintah akan secara legal membuat aturan mengenai legalisasi ganja untuk keperluan medis.

Ketika ditanya apakah Angki tidak takut citra atau imejnya jadi buruk karena pernah masuk penjara yang disebabkan kepemilikan ganja dan sekarang malah menjadi aktivis ganja, Angki menjawab tidak takut.

“Perihal keterbukaanku mengenai ganja, Kemendikbud nyatanya tetap menunjuk aku untuk jadi maestro di BBM dari 2018 dan tahun 2019 ini. Padahal sejak tahun kemarin keterbukaan saya ya sama saja. Artinya rezim memandang ada value atau nilai pada diri saya. Dan bahkan kita [LGN: red] nanti diundang untuk berpartisipasi dalam Pekan Kebudayaan Nasional di bulan oktober. Ini sekarang kami (LGN) mulai mikir apa saja yang akan kami presentasikan,” jelas Angki.

Kedisiplinan, nilai, dan keterbukaan, tiga hal unik dan inspiratif inilah yang tentunya menempel erat-erat di benak seluruh peserta BBM 2019 yang berguru pada Angki. Dan secara tidak langsung, ketiganya akan memicu adanya jiwa kreatif dan toleran dalam diri 15 anak istimewa yang diasuh Papapu selama 12 hari.

Hal ini terbukti dari bagaimana pandangan hidup para peserta banyak berubah. Apa-apa yang sebelumnya mereka anggap tabu, belakangan berani untuk dibicarakan. Keterbukaan Angki telah berhasil menghilangkan yang tabu.

Menghilangkan yang Tabu

‘Perkembangan Kebijakan Cannabis di Dunia’. Tulisan tersebut terpampang di salah satu sudut Rumah Kijang Mizuma, tepat di samping meja tempat dua komputer dan mesin scanner berada. Tulisan tersebut semacam menjadi petanda bahwa pemilik rumah dan studio tersebut, Angki Purbandono, memiliki concern yang besar terhadap tanaman cannabis. Atau di Indonesia lebih dikenal sebagai ganja.

Angki Purbandono adalah penggiat dan pegiat di Lingkar Ganja Nusantara atau disingkat LGN. Sebuah lembaga yang telah berusia lebih kurang sepuluh tahun. Concern utama LGN adalah mendorong adanya peraturan legal secara konstitusional dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur adanya legalisasi ganja untuk tujuan medis atau kesehatan.

Namun, kerja LGN rupanya tak hanya berkutat di perkara legalitas kebijakan tersebut. Sebagaimana tertulis di halaman ‘pertanyaan yang kerap diajukan’ alias frequently asked questions (FAQ) situs web resmi mereka, LGN rupanya juga berupaya melakukan sebuah kerja yang tak kalah beratnya dilakukan: langkah edukasi menghilangkan stigma negatif ganja, dan menghilangkan stigma bahwa ganja tabu dibicarakan.

Mungkin karena kinerjanya sebagai salah satu penggiat dan pegiat LGN yang menjadikan Angki sangat terbuka membicarakan daun hijau bernama lain marijuana ini kepada 15 anak peserta didiknya di program BBM 2019. Angki ingin anak-anaknya paham bahwa di luar segala stigma negatif yang melekat di daun tersebut, ada banyak manfaat lain.

“Beberapa negara seperti Portugal dan Belanda sudah melegalkan secara total. Portugal bahkan apapun legal, cocain misalnya. Nah tingkat kejahatan di Portugal justru menurun, itu ada statistiknya,” jelas Angki kepada peserta pada satu kesempatan diskusi.

Keterbukaan Angki berhasil mengubah pandangan hidup para peserta. Beberapa sebelumnya memandang ganja selalu dengan konotasi negatif. Bahwa ganja adalah penyakit masyarakat yang harus dijauhi, dienyahkan.

Haidar misalnya, ketika mendengar kata ganja, konotasi yang muncul padanya adalah negatif. Pandangan itu berubah sejak mendengar penjelasan Angki. “Dulu ketika dengar kata Ganja saya mikirnya negatif dan jauh banget. Namun, sekarang setelah dijelaskan sisi baiknya oleh PapaPu bahwa Ganja bisa untuk tujuan medis dan kesehatan, pikiran saya lebih terbuka,” ujar Haidar.

Senada dengan Haidar, Haura juga awalnya beranggapan ganja itu negatif. Namun, setelah mendengar pemaparan dan berdiskusi dengan Angki, cara pandangnya berubah.

“Aku mikirnya gitu awalnya, namanya Ganja narkoba dan itu negatif. Tapi kemudian PapaPu bilang bahwa nggak ada daun yang salah, semua daun itu termasuk ganja sejajar, yang salah adalah manusianya yang menggunakannya. Di situ aku mikir, mamaku pernah bilang masakan Padang ada yang menggunakan ganja sebagai bumbu. Jadi cara pandangku berubah, bahwa itu nggak salah asalkan itu memakainya dengan benar, kalau di tangan yang benar pasti lebih banyak manfaatnya ketimbang mudharatnya. Jadi ganja sebenarnya juga nggak seburuk yang orang kira gitu,” jelas Haura dengan mantap.

Tak hanya mengenai ganja. Hal-hal lain yang sebelumnya tabu dibicarakan pun mulai terkuak selama proses belajar BBM 2019. salah satu peserta perempuan, Andini mengungkapkan bahwa cara pandangnya pada seseorang berubah setelah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri bagaimana sikap dan keseharian PapaPu-nya tersebut.

“Cara saya memandang orang berubah, jangan dari luarnya saja. Dulu saya menganggap orang kayak papa Angki tuh terkesan berandalan. Tetapi setelah melihat dari cara bersikap papa Angki, saya jadi berubah cara pandangnya bahwa melihat orang jangan dari sebelah mata saja,” kata Andini.

Lain lagi Haidar. Di Bengkulu tempat asalnya, banyak terdapat tempat pariwisata seperti pantai. Namun, wisatawan yang datang kebanyakan adalah wisatawan domestik. Maka, Haidar jarang bersinggungan atau bertemu dengan wisatawan mancanegara. Ia jarang atau barangkali belum pernah bertemu dan berinteraksi langsung dengan warga negara asing (WNA).

Kondisi ini menanamkan stigma kepada Haidar: bahwa WNA itu orang yang jauh berbeda dengan Warga Negara Indonesia (WNI). Dalam pandangan Haidar sebelumnya, WNA yang berasal dari Amerika atau Eropa kebanyakan hanya mementingkan gaya hidup atau style.

Cara pandang itu berubah saat peserta BBM 2019 melaksanakan kunjungan ke Omah Lor. Kebetulan saat itu sedang ada beberapa WNA yang menginap di Omah Lor. Mereka belajar permaculture dan bagaimana merawat alam. Di situ rupanya Haidar mengamati bagaimana perilaku para WNA, dan itu ternyata sungguh berbeda dari apa yang dipikirkannya selama ini.

“Di Omah Lor kan banyak turis mancanegara. Melihat mereka berbaur di sana rasanya luar biasa. Karena di Bengkulu wisatawan mancanegara itu jarang saya temui, banyak wisatawan lokal. Di Omah Lor saya melihat bagaimana banyak turis mancanegara berbaur dengan lokal, berbaur dengan alam, itu sangat membuka pikiranku: berarti orang luar negeri tuh nggak kayak pikiranku sebelumnya yang cuma pamer fashion atau style mewah. Ternyata di situ mereka ramah, mau mencoba hal-hal yang bisa katakan agak berbau tanah. Ternyata mereka fleksibel. Banyaklah yang pikiranku terbuka setelah ikut program Papapu,” jelas Haidar.

Ayub, pelajar asal SMA Negeri 2 Kei Kecil juga mengaku mengalami perubahan cara pandang. Sebelumnya, Ayub selalu memandang orang yang masuk dan keluar penjara berkonotasi negatif sebagai penjahat dan sampah masyarakat. Namun, pandangan itu berubah tatkala ia mengamati lekat-lekat sosok Angki.

“Papa Angki kan pernah masuk penjara, biasanya orang kalau sudah masuk penjara terus keluar itu orang yang dipandangnya negatif, penjahat. Tetapi setelah melihat Papa Angki, ternyata tidak seperti itu, orang yang masuk penjara pun bisa berkarya. PapaPu tuh hebat loh. Biasanya orang masuk penjara ya tetap jadi orang jahat. Eh ternyata PapaPu tetap menjadi orang yang disiplin, dan tetap berkarya dengan scanography,” jelas Ayub.

Itu adalah beberapa contoh perubahan pandangan hidup para peserta setelah belajar bersama maestro Angki Purbandono. Setiap anak tentu mengalami perubahannya masing-masing. Yang jelas Angki dan kesehariannya rupanya menjadi panutan dan panduan untuk para peserta agar bersikap lebih open minded terhadap hal apapun.

Sebuah pelajaran yang sungguh berharga. Wajar jika kemudian banyak peserta yang merasa sedih karena program BBM 2019 bersama Angki Purbandono akan segera berakhir, dan mereka harus pulang ke daerah masing-masing.

“Nggak pengen pulang. Kalau bisa waktu program ini diperpanjang dong,” pungkas Ayub dengan mimik muka agak sedih.

Tak Ada yang Abadi

Sabtu (13/07) adalah hari terakhir proses BBM 2019 bersama AngkiPu. Besoknya, minggu (14/07) anak-anak akan kembali ke daerahnya masing-masing. Haura, peserta asal DKI Jakarta tengah membereskan barang-barangnya. Ia mengaku bahwa Program BBM 2019 bersama Angki selama 12 hari ini terasa sangat menyenangkan. “Have fun banget, saya nggak pengen pulang. Hahaha,” ungkap Haura sambil tertawa.

Barangkali bukan hanya Haura, 14 peserta lainnya tentu juga mengalami perasaan yang sama: mereka ingin program ini diperpanjang waktunya. Karena AngkiPu dan berbagai kegiatan dalam BBM 2019 ini terasa sangat asyik dan sangat berkesan di hati mereka. “Asyik banget. Karena liburanku jadi terisi banyak hal baik di Jogja [sic]. Banyak pengalaman baru, banyak ilmu baru,” ujar Haidar, peserta asal Bengkulu.

“Maestro itu hanya sebutan, di baliknya ada kerja yang sangat kekeluargaan,” ungkap Angki di suatu kesempatan di Rumah Kijang Mizuma. Berkaca dari apa yang terjadi sepanjang 12 hari masa BBM 2019 bersama Angki Purbandono, dapat disimpulkan bahwa unsur kekeluargaan tersebut memang sangat kental.

Angki menawarkan sebuah metode belajar baru yang menarik: kekeluargaan. Semua masalah atau kendala yang muncul selalu diselesaikan dengan kekeluargaan, setiap peserta bebas menyampaikan pendapat dan idenya, dan semua dianggap setara, baik itu Angki selaku maestro, Dian Ariyani sebagai istri, Kiki dan Bunga sebagai asisten, para peserta, bahkan seorang Asisten Rumah Tangga (ART) yang bekerja memasak di dapur juga dianggap bagian keluarga tersebut.

Jika ditarik ke tema besar BBM 2019 yang menekankan tema ‘kreatif dan toleran’, konsep belajar kekeluargaan yang ditawarkan Angki tentu sangat nyambung dengan tema tersebut. Dengan menerapkan metode kekeluargaan, Angki secara tidak langsung menanamkan sikap toleran pada diri anak-anak didiknya, dan dapat disimpulkan sikap toleran tersebut akan tertanam kokoh dari sekarang sampai peserta tua. Mereka akan menerapkannya dalam segala proses kreatif, atau bahkan lini kehidupan lainnya.

Pakar ilmu psikologi G.S Hall menyatakan bahwa masa remaja (adolescence) antara 12 hingga 25 tahun, yaitu masa topan-badai (strum and drang). Di titik ini remaja sedang dalam proses pencarian jati diri, mudah terombang-ambing, dan mudah berubah kepribadiannya.

Lebih lanjut Hall berpendapat bahwa mendidik anak harus dengan cara memberinya kebebasan seluas-luasnya, karena perkembangan jiwa manusia tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungannya, melainkan sudah digariskan oleh alam sendiri. Hall bahkan mengatakan bahwa remaja boleh mencari jalannya sendiri dan boleh mengkritik orang dewasa.

Di satu sisi, Angki Purbandono telah melakukan tugasnya sebagai maestro dengan sangat baik. Ia mendidik para peserta tentang pentingnya kedisiplinan, value atau nilai diri, dan keterbukaan. Angki menjalankan perannya sebagai orang dewasa yang harus membantu mengarahkan para remaja yang sedang dalam masa topan-badai (strum and drang) agar tidak terombang-ambing dalam kekacauan a la remaja. Jika diibaratkan, Angki membantu kapal anak-anak dengan memberi sebuah kompas kepada mereka, sehingga anak-anak peserta BBM 2019 tidak akan tersesat dan terombang-ambing ombak.

Di sisi lain, Angki mempraktikkan apa yang digagas Hall sebagai ‘memberikan kebebasan seluas-luasnya’. Angki membuka lebar-lebar keran saran dan masukan dari para peserta dalam setiap sesi kelas. Dengan demikian, melalui kelas proses kreatif yang dijalankan, Angki Purbandono secara tidak langsung membentuk rasa percaya diri dalam anak-anak: mereka berhak menyampaikan pendapat, dan bahkan mengkritik orang dewasa.

Kesimpulannya, melalui proses pembelajaran kreativitasnya, Angki telah berhasil menguatkan karakter seluruh peserta BBM 2019 yang nyantrik padanya agar menjadi sosok yang mengedepankan kedisiplinan, nilai, dan keterbukaan. Juga menjadi sosok yang merdeka sejak dalam pikiran. Sosok-sosok yang kreatif dan toleran.

***

Tak ada yang abadi. Setiap awalan pasti punya akhiran. Demikian pula Program Belajar Bersama Maestro 2019 Angki Purbandono yang telah berjalan selama 12 hari.

Sabtu (13/07). Malam itu secara sederhana dilakukan penutupan program di Rumah Kijang Mizuma. Tikar digelar di ruang tengah rumah, beberapa sajian makanan tertata di atasnya, seluruh peserta BBM 2019, Angki dan Dian, serta para pendukung lainnya duduk bersama. Sedikit cuap-cuap dipaparkan Angki dan Dian. Setelahnya mereka semua menyantap hidangan yang ada.

Makan malam bersama itu menandakan tuntas sudah kegiatan BBM 2019 bersama Angki Purbandono. Liburan yang mengasyikkan telah paripurna. Minggu (14/07) keesokan harinya, masing-masing peserta akan kembali ke daerah masing-masing, rumah masing-masing. Karena senin (15/07) berikutnya, mereka sudah harus kembali duduk di bangku sekolah.

Setiap peserta tentunya akan membawa pulang warisan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang mereka kumpulkan selama di Yogya ke rumah masing-masing.

Secara khusus Angki Purbandono memberikan rekomendasi dan saran untuk program BBM ini: bahwa setiap tahun program ini harus terus diadakan, dan dipublikasikan sebanyak dan seluas mungkin agar makin dikenal penduduk Indonesia.

“Kalau pendapat saya sebagai maestro, kerja dari narasumber saya pikir nilainya tinggi ya, dan mereka cukup meluangkan waktu khusus untuk memilih maestro dan pelajarnya. Evaluasi yang menyebalkan atau menyakitkan nggak ada sih. Jadi, malah justru mereka para narasumber harus bekerja keras agar program ini bisa bertahan dan dibaca orang banyak. Supaya bertahan. Ketika dibaca orang banyak, apalagi orang penting, program ini akan sustainable. Bisa jadi program BBM akan jadi milik masyarakat, bukan hanya dikelola pemerintah. BBM bisa menjadi gerakan warga yang dikelola bersama,” pungkas Angki.

Sebuah rekomendasi dan saran, atau harapan yang sungguh mulia. Kita semua tentu berharap program ini bertahan. Agar anak-anak generasi penerus bangsa mendapat pendidikan karakter yang kuat dan bagus. Karena kelak, merekalah yang akan mempertahankan pondasi kokoh kebangsaan di Indonesia.***

Catatan: Tulisan feature ini merupakan bagian dari dokumentasi program Belajar Bersama Maestro (BBM) 2019 yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada Juli 2019 silam.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.