Kematian Nadya

Aku gila.

Suatu hari Nadya mati. Semangatku yang tadinya membuncah tiba-tiba padam. Bagaimana ini? Hari-hari sebelumnya aku punya dia yang menampar muka kala aku hendak mengubah prinsip. Hari ini dia hilang, tidak hidup.

Beriring sumpah serapah hati saat Nadya bertabur kamboja di tanah merah. Sementara aku padam meninggalkan jelaga hitam. Mampus! Mampus!

Nadya mati tertabrak lokomotif imajinasi. Oh, Nadya yang malang. Kamu cuma gadis manis yang tak pernah macam-macam serta selalu berusaha tersenyum pada dunia yang kadang dengan kejam berusaha mengenyahkan kehadiranmu. Kenapa kamu harus pergi secepat itu? Kamu masih belum terlalu lama menginjak dunia.

Tuhan Yang Maha Segala mengutus Israil yang mengendap lewat langit-langit kamarmu lalu mencabut nyawa dari ubun-ubunmu, meninggalkan sebentuk raga tak berarti. Sebentar paling akan membusuk dan dirayapi belatung lalu anyir dikerubungi lalat. Lantas para tetangga akan mengerumuni jenazahmu dan wartawan kriminal pemburu berita mengambil foto jenazahmu untuk dipajang di halaman depan koran merah dengan judul:

“SEORANG GADIS PERAWAN, MATI TIBA-TIBA TANPA ALASAN JELAS. DIDUGA KARENA MALAIKAT MAUT NAKSIR PADANYA HINGGA MENCABUT NYAWANYA.”

Aku menangisi jenazahmu dengan bara di dada. Siapa yang membunuh Nadya? Jenazahnya juga hilang entah ke mana. Burung nazar, atau gagak, atau setan pencabut nyawa yang berani menggerayangi perasaannya yang lemah. Aku harus membalas dendam kepada siapa?

Nad, ada belati di kamar menggodaku berkata “iris arterimu!!!”. Bagaimana ini? Apa aku pakai saja agar sukma bisa menyusulmu ke sana?

Tabur bunga tujuh rupa, sembari baca mantra penyelamat “matilah bosan, hidupnya tak berguna”.

Di pemakaman Nadya. Aku bawa bunga krisan, serta buku teka-teki kegemarannya. Sambil bertanya, nyamankah di bawah tanah sana? Apa di sana ada perpustakaan yang bisa kamu kunjungi untuk meminjam beberapa karya Pram? Atau di sana juga ada pedagang siomay? Aku cemas kamu kelaparan lalu mengidap anorexia hingga kerempeng. Bagaimana kabarmu di sana?

Nadya sayang, gangguan mentalku terdiagnosis karena kebosanan. Kemapanan dan keadaan yang sama memang dituduh sebagai penyebab kebosanan, dan kebosanan konon memaksa kita membunuh, Karena itu jangan pernah bosan.

Esensi berkarat, semangat hidup melenyap. Aku sekarat, laknat.

Motif kematianmu belum terdeteksi hingga aku hanya mampu berasumsi.

Aku menangis, dalam remuk redam perasaanku, juga air mata yang terus menetes.

Di ceruk terdalam keterpurukanku aku berteriak: Selamat tinggal Nadya, matilah kamu bersama apa yang kamu percaya. Terkubur dikerubungi cacing. Matilah kamu dan hiduplah aku.

#fiksi #prosa

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.