
“Kami ada dan berlipat ganda.”
Jargon di atas kerap digunakan untuk menggambarkan bagaimana aktivis HAM Munir. Meski Munir dibungkam paksa oleh penguasa, nama dan keberaniannya akan ada dan berlipat ganda, mengubah kegelisahan malih rupa menjadi kemarahan yang ditujukan pada penguasa.
Jargon ini lebih kurang sama dan bisa menjelaskan apa yang terjadi di Samarinda. Gerakan ini bernama Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), diinisiasi oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), isu yang mereka angkat adalah ihwal keadilan lingkungan dan keadilan iklim, apa yang mereka gugat adalah kongkalikong manis antara pemerintah dengan pengusaha pertambangan.
Dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka, selain dalam praksis aksi lapangan dan perkara legalitas di ranah hukum, GSM juga menerbitkan sebuah buku bertajuk Samarinda Menggugat: Ketika Kegelisahan Menjadi Kemarahan. Diterbitkan pada tahun 2017, buku ini merupakan hasil kolaborasi empat penulis: M. Basyir Daud, Siti Maimunah, Theresia Jari, dan Yustinus Esha. Buku setebal 144 halaman ini bak sebuah catatan rekam jejak. Mendokumentasikan Laku aktivisme Gerakan Samarinda Menggugat.
Samarinda, seperti makan tubuh sendiri
Di dalam bukunya Spoiling Tibet: China and Resource Nationalism on the Roof of the World, Gabriel Lafitte menjabarkan bagaimana Tibet, negara yang sebelumnya dianggap sebagai atap dunia, harus menghadapi kerusakan ekologi yang parah. Kerusakan tersebut dipicu oleh perusahaan-perusahaan pertambangan asal China yang menyedot habis segala mineral berharga di tanah Tibet. Pertambangan ini meninggalkan kerusakan, serta penduduk Tibet yang kebingungan karena tidak bisa melakukan apapun.
Setali tiga uang dengan buku Lafitte, buku Samarinda Menggugat (selanjutnya disebut SM) menggambarkan kegetiran yang sama: bagaimana pertambangan batubara merongrong ekologi Samarinda, serta bagaimana warga sangat dirugikan oleh aksi pertambangan yang makin tak terkendali.
SM sangat kaya data. Ia menjabarkan bagaimana Samarinda ibarat tengah memakan tubuhnya sendiri sedikit demi sedikit. Setiap sudut kota mulai meranggas karena dikeruk alat-alat berat pertambangan. Pengerukan batubara marak sejak industri kayu runtuh karena jumlah tegakan pohon yang ditebang lebih banyak dari yang ditanam. Data menunjukkan setelah diterapkannya otonomi daerah, Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan naik 13 kali lipat dari yang sebelumnya berjumlah 118 buah menjadi 1488 buah. (hal 3). Lebih lanjut GSM menjabarkan bahwa demi mengalah untuk kepentingan pertambangan ini, ruang hidup bagi warga menciut hanya menjadi 29 persen. (hal 4). Warga Samarinda harus hidup di tengah ketakutan akan serbuan banjir, serangan hama ke lahan pertanian, hingga lubang-lubang bekas galian tambang yang merenggut nyawa anak-anak mereka. (Hal 14).
Gugatan warga kota
GSM mencatat bahwa penegakan hukum amat tumpul dalam menyikapi dosa-dosa besar pertambangan yang merenggut hak hidup warga. Bahkan seolah hukum justru melindungi kepentingan pengusaha tambang. (Hal 29). SM mencatat kesaksian beberapa warga seperti pasangan petani Nurbaeti dan Komari yang sedih bukan kepalang karena sumber mata air yang sebelumnya mengairi sawah mereka, kini telah berubah menjadi lubang beracun yang menganga lebar. (Hal 34).
Atas dasar nasib bersama sebagai warga kota yang diabaikan hak hidupnya, GSM lantas mewujudkan sebuah gerakan untuk menggugat. Berawal dari sekadar sebuah forum bercerita yang mereka sebut Taman Bercerita, GSM lantas memantapkan diri untuk menggugat pemerintah.
GSM mengajukan apa yang dikenal sebagai citizen lawsuit alias gugatan warga negara. Sebuah upaya legal yang tidak mudah karena ada begitu banyak persiapan harus dilakukan. Yang paling dibutuhkan di sini adalah kecerdasan, ketekunan, dan kesabaran. Maka, GSM menyusun semuanya dalam kurun waktu 512 hari, baru kemudian gugatan mereka didaftarkan ke Pengadilan Negeri Samarinda pada 23 Juni 2013. (Hal 63).
Gugatan citizen lawsuit yang dilakukan GSM menjadi gerakan warga kota yang pertama di Indonesia. Saat di mana warga kota menggugat perihal isu lingkungan dan perubahan iklim. (Hal 83). Gugatan warga negara (citizen lawsuit) adalah akses orang/perorangan warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik termasuk kepentingan lingkungan. Mengajukan gugatan di pengadilan berarti menuntut agar pemerintah melakukan penegakan hukum, serta memulihkan kerugian yang dialami publik. Gugatan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau otoritas negara.
Terkait rusaknya ekologi Samarinda akibat pertambangan batubara, GSM menggugat 5 pihak: Walikota Samarinda, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Gubernur provinsi Kalimantan Timur, Kementerian Lingkungan Hidup, dan DPRD Tingkat Dua kota Samarinda. Aksi tanpa lelah GSM berbuah pada akhirnya. Gugatan warga negara ini dimenangkan oleh Majelis Hakim. Selain menjadi citizen lawsuit pertama, ini menjadi yang pertama menang.
Melawanlah dengan gembira.
Bab terakhir buku ini menjabarkan sebuah jargon yang menarik: melawanlah dengan gembira. Padahal di bab ini SM menggambarkan bagaimana para pegiat Jatam selepas adanya deklarasi sering mendapat intimidasi dari orang tidak dikenal. Jargon melawanlah dengan gembira adalah semacam ajakan kepada seluruh pegiat Jatam, penggiat GSM, serta secara lebih luas seluruh warga negara Indonesia agar berani, pantang menyerah memperjuangkan hak hidupnya.
Buku ini tidak terlalu tebal. Meski ada ketidaknyamanan dari segi tata letak serta banyak ditemukan typo, namun toh bukan perkara teknis itu yang utama. Yang lebih penting adalah buku Samarinda Menggugat ini penting karena menggambarkan bahwa warga negara punya hak untuk hidup layak, dan saat pemerintah tidak mampu memberikan hidup layak tersebut, maka warga negara boleh dan bisa menggugat pemerintah. Buku ini setidaknya akan berhasil menunjukkan bahwa perlawanan itu ada dan berlipat ganda, dan, perlawanan harus selalu dengan riang gembira.
Informasi Buku:
Judul : Samarinda Menggugat: Ketika Kegelisahan Menjadi Kemarahan. Sebuah Gerakan Warga Kota Memperjuangkan Keadilan Lingkungan dan Keadilan Iklim
Penulis : M. Basyir Daud, Siti Maimunah, Theresia Jari, Yustinus Esha
Tahun terbit : 2017 (cetakan pertama)
Penerbit : Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Ukuran buku : 14 x 21 cm
Tebal : 144 halaman.
NB: Pernah dimuat di majalah Kombinasi edisi 69.