Falsafah Kramadangsa dalam PIAS

Pias.
Pias.

Catatan: Ulasan ini adalah versi panjang (naskah asli) dari ulasan untuk buku saya PIAS yang ditulis oleh musikolog Erie Setiawan. Versi pendek (naskah tersunting) telah dimuat di ruang.gramedia.com.

Aris adalah semata tubuh yang terbentuk karena niat kedua orang-tuanya, direstui Sang Khalik, maka ia menjadi ada, menjadi “aku”. “Aku” kemudian berkembang dengan ikutan-ikutan dan ikatan-ikatan lain. Manusia dalam sifatnya, dalam identitasnya. Kegelisahan adalah bagian dari “aku” yang diikuti perasaan khawatir sekaligus optimis. Bukan “aku” yang mengalir bebas apa adanya, melainkan “aku” yang menjadi penuh tekanan. Ikutan dan ikatan yang menghantui “aku” itulah yang disebut kramadangsa, falsafah hidup versi Ki Ageng Suryomentaram, putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Lewat Kawruh Begja (Ilmu Bahagia) warisan Ki Ageng Suryomentaram kita diajak berpikir hingga ke batin supaya hidup dalam ketenangan dan ketentraman.

Maka Aris bisa kita baca dalam berbagai gejolaknya, antara lain sebagai musisi indie dalam ikatan-ikatan dengan lingkungannya; bisa juga kita meletakkan Aris dalam batas “nalar atau pikirannya” (dumadi), maka lahirlah tulisan (adonan) dalam kapasitas Aris sebagai Etnomusikolog, Pemerhati Seni Budaya, atau yang lain-lain; dan pada tingkatan yang mendasar adalah Aris sebagai manusia, sebagai subyek, yang bisa kita lihat secara holistik-komprehensif seperti dalam sistem tata suara ambisonic (berbagai arah: atas bawah kiri kanan depan belakang), tidak hanya stereo yang mutlak kiri-kanan, atau mono yang terpusat satu sumber.

Terlebih dahulu harus diyakinkan secara seksama, kita akan membaca bumbu PIAS atau hasil masakannya? Bumbu akan bersifat otonom, memiliki tafsir tunggal, tidak terikat pada hasil akhir, sementara hasil masakannya akan mengaburkan fitrah segala sumber, bisa menimbulkan kecamuk. Maka jika orang memperdebatkan agama tanpa melihat dimensi kemanusiaan, hasilnya bisa celaka. Bisa jadi, Aris yang mengaku lahir dalam lingkungan di sekitar lereng Gunung Lawu ini menjadi sama sekali tidak penting, toh pada kenyataannya, tulisan-tulisannya lebih bercorak “urban”. Sisi apa dari “Jawa” yang tersemat pada tubuh (dan pikiran) Aris itu? Kita makin galau dengan identitas.

Menarik apa yang dikatakan Taufiq Rahman dalam epilog buku ini. Ia menyebut dengan istilah “perselingkuhan” dan “incest” untuk menggambarkan “peran ganda” dalam scene musik lokal atau ranah independen (contoh: ya musisi ya penulis, ya musisi ya desainer grafis, dan seterusnya). Apakah kita menjadi sedemikian “malu” dengan segala stigma yang berakibat pada tidak terjaminnya obyektifitas dalam jagad “kemerdekaan berekspresi” abad ini? Apakah dengan menyebut Aris sebagai Etnomusikolog sekaligus Drummer akan mengurangi bobotnya sebagai manusia dan obyektifitasnya untuk mengamati peristiwa (musik)? Agaknya tidak. Ini hanya masalah kecermatan epistemologis yang harus diperjuangkan sedemikian rupa.

Maka, Aris yang mengatakan PIAS hanyalah kumpulan dokumentatif belaka, adalah sebuah pengakuan yang jujur, mengajarkan mengenai bumbu-bumbu yang tidak terikat identitas, selain hanya karena kecintaan Aris pada pikiran dan aksara sebagai pengejewantahan laku gagasannya. Inilah yang menarik.

Maka jangan heran jika Anda akan menemukan banyak sekali percabangan pemikiran di buku ini, seperti susunan syaraf yang kompleks. Aris berusaha melihat fenomena seni, musik, budaya, film, dan lain-lain yang melintasi kesehariannya, dan ia telah membantu kita untuk “peka diri” pada tingkatan rohani sekaligus rasional. Ini juga bukan soal kualitas atau salah-benar.

Kalau mau jujur, lebih banyak kelirunya daripada benarnya. Menganggap Denny Sakrie kritikus musik (hal. 2) adalah pernyataan yang sangat terburu-buru. Aris tidak mengikutinya dengan informasi mengenai kaidah-kaidah menjadi kritikus musik berdasarkan fakta dan referensi sejarah. Pada artikel “Orksetra Diam John Cage” (hal. 262) juga sama saja. Aris agaknya belum mengetahui apa itu in-audible sound vibration dalam konteks metafisika bunyi—untuk mengaitkannya dengan karya fenomenal John Cage 4’33” itu. Agaknya Aris juga belum membaca buku Silence: Lectures and Writings buah pikiran John Cage. Dalam artikel “Waspada Kebisingan Kota” (hal. 46) kelihatannya juga sama. Masalah utamanya bukan soundscape akan tetapi psiko-akustik, yaitu hubungan antara manusia, bunyi yang didengarnya, dan intensitas bunyi (kadar desibel, frekuensi, durasi, karakter, struktur) dalam hubungannya dengan dampak psikologis manusia. Contoh-contoh “kekeliruan” ini tidak penting. Yang penting adalah Aris telah melemparkan wacana-wacana yang jarang dicermati orang.

Dua garis besar

Setidaknya ada dua garis besar dominasi yang menarik untuk dilihat lebih jauh dalam PIAS, buku setebal 323 halaman ini, yaitu kemampuan Aris dalam mengkaji seni-budaya dengan titik-berangkat pengalaman personal dengan berbagai fakta, contoh dalam artikel “Seni untuk Apa” (hal. 144), juga “Angkringan dan Hiperealitas” (hal. 199), dan di sisi lain adalah tulisan dengan gaya bahasa sangat subyektif seperti (terutama) tampak dalam “Surat untuk Sam” (hal. 60) dan “Surat untuk Ikun” (hal. 190). Tampak Aris sedang melakukan dialog imajiner yang intensif dalam perenungan (reflektif) kepada dominasi dua garis besar itu.

Selebihnya, ada sebuah saran yang mungkin penting bagi Anda ketika nantinya Anda mungkin tertarik membeli (membaca) buku ini. Yaitu ikutilah dengan pengalaman empirik, mendengar karya-karya yang dicontohkan (Sisir Tanah, Navicula, Homicide, dan yang lain-lain). Ini saya kira penting untuk mencapai sisi kenikmatan rohani (sensasi emosional) beserta kontekstualisasinya. Informasi yang disampaikan di buku ini akan menjadi percuma apabila kita hanya sebatas membayangkannya saja.

Satu diri

Aris pada kondisi yang sekarang, saat ini, detik ini, adalah Aris yang sedang berkonflik melawan dirinya sendiri, berperang dengan ke”aku”annya, dengan ikatan-ikatan dan ikutan-ikutannya, dengan kramadangsa-nya itu. Maka lebih substansial lagi adalah, bahwa judul buku ini memang tepat adanya. PIAS, yang artinya Pikiran Aris Setyawan, adalah ajakan untuk kita tidak “menghakimi” Aris dengan stempel-stempel khusus, juga untuk menguji apakah kita juga bisa golong-gilig dalam kapasitas sebagai manusia yang berpikir nir-identitas, selain hanya istiqomah dalam laku, terus-menerus, hingga kramadangsa menjadi “satu diri” (manunggal).

Aris sangat beruntung, pikirannya tersalurkan sesuai dengan apa yang menjadi minatnya, tidak memaksakan diri, tidak berorientasi tenar, tidak memihak pada kebenaran tunggal, suku, atau golongan, dan teman-temannya dengan ikhlas membantu mewujudkan mimpinya.

Pada akhirnya, saya harus menutup dengan satu paragraf yang mungkin tidak penting artinya bagi Anda. Saya ingin mengaku, bahwa sejujurnya saya pribadi tak punya kapasitas apapun secara intelektual untuk “ikut menanggung nasib” yang tengah menimpa Aris. Dari mulai menulis kata pengantar untuk buku ini, membahasnya secara lisan pada saat peluncuran, berbicara empat mata dalam kadar personal di berbagai kesempatan, dan harus menulis ulasan sepanjang 700-900 kata ini.

Apakah ini adill?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.