
( Dimuat di Jakartabeat, 11 maret 2013. http://jakartabeat.net/musik/kanal-musik/konser/item/1707-konser-intim-tiga-band-suara-tujuh-nada-di-yogyakarta.html#.UUS8sBfIYl8 )
Rumah itu terletak di sebuah gang sempit di kawasan Bugisan, Yogyakarta. Di depannya terbentang pemandangan sawah luas. Rumah itu adalah markas dari Teater Garasi, sebuah tempat yang mewadahi kesenian teater, musik dan lain sebagainya. Dan mendadak pada Kamis malam, 7 Maret 2013 lalu rumah di gang sempit pinggiran kota itu penuh dengan ratusan orang. Dress coderatusan yang hadir itu seolah disulap sama: tipikal para scenester dan pemburu musik cutting edge. Ya, ratusan orang yang memadati Teater Garasi malam itu sedang menghadiri konser musik. Dan konser tersebut bertajuk “Suara Tujuh Nada.”
Suara Tujuh Nada adalah konser tur 3 kota yang dipromotori oleh Rain Dogs Records dan G Production, sebuah Event Organizer yang melambung namanya saat mengorganisir gelaran tahunan Djakarta Artmosphere. Teater Garasi di Yogyakarta adalah tempat beruntung yang disinggahi tur 3 kota ini, setelah malam sebelumnya digelar di Maja House Bandung. Kemudian malam berikutnya setelah Yogya, rombongan tur mengakhiri perjalanannya dengan konser terakhir di Taman Agro Denpasar, Bali.
Adalah Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, serta White Shoes and The Couples Company (WSATCC) yang didaulat menjadi headliner dalam tur 3 kota ini. Tiga nama yang sudah menjadi perbincangan hangat di scene musik (jika boleh saya menyebutnya indie atau cutting edge) di Indonesia. Kontan dengan tiga nama besar tersebut yang bermain, menjadi jaminan bahwa tiap konser yang digelar di 3 kota akan penuh penonton, sebab masing-masing band tentu memiliki fanbase tersendiri yang cukup besar.
Maka malam itu 200-an lebih penonton yang hadir mengenakan atribut band yang disukainya, dengan tertib memasuki Teater Garasi setelah pintu dibuka tepat pukul 8 malam. Lalu para penonton duduk nyaman di bangku yang disediakan, yang tidak kebagian bangku memilih duduk lesehan di depan panggung tanpa adanya keluhan. Dan dimulailah kemeriahan konser Suara Tujuh Nada di Teater Garasi Yogyakarta.
Duo Folk Pembuka
Risky Sasono, gitaris dan vokalis band Risky Summerbee and The Honeythief yang bertugas menjadi MC malam itu membuka konser Suara Tujuh Nada dengan memanggil penampil pertama. Naiklah ke atas panggung Elda dan Adi yang tergabung dalam Stars and Rabbit. Duo folk asal kota Gudeg yang bisa dibilang muncul belakangan ketimbang Dialog Dini Hari maupun WSATCC.
Meskipun baru muncul, penampilan Stars and Rabbit cukup diperhitungkan sebagai band dengan keunikan tersendiri. Salah satu keunikan tersebut adalah, mereka biasa tampil dengan formasi 2 orang di tiap konsernya, termasuk malam itu. Adi pada departemen gitar, dan Elda bertugas membius penonton dengan vokal khasnya, dan sesekali memainkan instrumen pendukung seperti tambourine (Elda menyebutnya “icik-icik”), Maraccas, pianika, dan lain-lain.
Stars and Rabbit mengalunkan “I’ll Go Along” sebagai lagu pertama, disusul “Catch Me” dengan ritmis reggae yang catchy dan membuat kepala bergoyang. Setelah “Catch Me”, Elda sempat melontarkan canda ke penonton dan rekan satu bandnya Adi, inilah keunikan lain dari Stars and Rabbit, guyonan renyah sering muncul membuat para penonton terpingkal. Semua orang seolah dipaksa ikut tertawa saat Elda dengan entengnya berkata “begini rasanya kalau bermain dengan band yang lebih dulu terkenal, mules rasanya. Sudah gitu mereka pada nonton lagi.”
Lalu sembari bernyanyi Elda memainkan pianika di “You Were The Universe”. Koor massal sempat terjadi saat “Like It Here” dan “Worth It” dibawakan, menandakan bahwa sekalipun menganggap diri band baru, reputasi mereka sudah cukup besar dan makin mengokohkan fanbase mereka. “Old Man Finger” menyusul dibawakan, lalu duo folk yang setahun lalu sempat bermain di panggung yang sama dalam “Live at Teater Garasi” ini menutup penampilannya dengan lagu terakhir “Man Upon The Hill.”
Para penonton yang hadir tentu puas saat Stars and Rabbit membawakan 7 lagu malam itu. Boleh dibilang penampilan mereka luar biasa, karena hanya dengan 2 musisi band ini sudah mampu menghadirkan eargasm to the max.Mereka tidak membutuhkan instrumen konvensional lain sebagai pendukung, absennya drum, bass, atau keyboard sekalipun sudah tertutupi dengan permainan gitar Adi yang cukup mumpuni, yang kadang mengocok emosi penonton saat dinamika dinaikturunkan, atau tempo diubah-ubah sesuka Adi.
Dan tentu saja faktor utama yang membuat karakter musik mereka kuat adalah suara khas Elda yang tiada duanya. Karakter suara Elda ibarat emas yang disemburkan tenggorokannya, lalu memaksa kuping penonton memperebutkannya. Elda adalah bintang malam itu, dia sangat menyadari bahwa dirinya adalah bintang dan sangat nyaman dengan posisinya sebagai bintang di panggung.
Kharisma sebagai bintang itu tak muncul dengan sendirinya, kharisma itu muncul hasil dari gemblengan saat Elda menjadi vokalis dari sebuah band pop rock mainstream bernama Evo. Elda mengakuinya sendiri saat seorang penonton dideretan depan berteriak “Evo” dan Elda langsung berkata “bagaimanapun tanpa band itu saya tak akan menjadi seperti ini dan Stars and Rabbit tak akan ada.”
Barangkali saat Elda berkata “Aku tuh nyanyinya mellow-mellow loh, kok muka kalian pada kelihatan seneng sih?” ia tak menyadari muka penonton kelihatan senang karena mereka memang bersenang-senang dengan musik Stars and Rabbit. Konon pendengar musik akan menganggap sesuatu yang dilakukan artist idolanya luar biasa meskipun sang artis sebagai bintang menganggap hal yang dilakukannya biasa saja.
Elda boleh saja menganggap lagu-lagu gubahannya semacam “curhat” pribadi, namun subyektifitas perasaannya yang diaransemen dengan bagus dalam musik-musik Stars and Rabbit pada akhirnya membius para pendengarnya menjadi senang, dan kebanyakan yang hadir di konser malam itu tentu menunggu debut album duo folk tersebut dirilis.
Penjiwaan Dialog Dini Hari
Selepas Stars and Rabbit, Risky Summerbee sebagai MC naik kembali ke panggung, kali ini ia ditemani Ugoran Prasad (Ugo) vokalis band cultMelancholic Bitch. Keduanya sempat menjelaskan sekilas mengenai Teater Garasi dan program-programnya, lalu memanggil band kedua untuk naik panggung. Suara riuh penonton meledak saat Dadang SH Pranoto (vokal & gitar), Michael Brozio Orah (Bass), dan Putu Deny Surya Wibawa (Drum) yang bergabung dalam Dialog Dini Hari naik panggung.
Band yang sebelumnya adalah band proyek sampingan sempalan dari 2 band Bali yang lebih dahulu terkenal yakni Navicula dan Kaimsasikun ini kini menjadi bukan sekadar band sampingan lagi. Tak dapat dipungkiri Dialog Dini Hari telah menjadi band utama dengan fanbase militan yang besar dan tempat terhormat di skena musik sebagai band dengan musik folk, blues, akustik dan lirik dalam tentang kehidupan, cinta, alam dan manusia.
Koor massal tak terbendung saat Dadang sang gitaris sekaligus vokalis mendendangkan “Jerit Sisa” ; “Rehat Sejenak” ; “Satu Cinta” ; “Renovasi Otak” ; “Pelangi” ; “Beranda Taman Hati” ; “Aku Adalah Kamu” ; “Pagi” ; “Lengkung Langit” dan “Oksigen.”
Wajar jika Ugo mengatakan Dialog Dini Hari adalah band yang harus ditontonlive-nya karena mereka sangat menjiwai setiap permainan musiknya. Hal itu terbukti dengan bagaimana Dadang bernyanyi dan memetik gitarnya seolah tak ada lagi hari esok, sound gitarnya yang akustik mengalun manis di band ini, berbeda 180 derajat dengan saat ia harus berdistorsi gahar di band grunge Navicula. Sementara Zio pada bass terlihat enjoy membetot senarnya, mengawinkan ritmis bassline-nya dengan hentakan drum Denny yang bermuka kalem di belakang setdrum, sekalipun bermuka kalem, gebukan stick-nya tidak kalem. Tempo terjaga rapi, dan fill drumnya sering mengejutkan.
Lagi-lagi 200-an lebih penonton di Konser Suara Tujuh Nada malam itu tentu mengalami eargasm. Semua orang sepertinya puas, para penonton dan fans berat Dialog Dini Hari tersenyum riang. Dialog Dini Hari juga nampak bersenang-senang dan puas, terbukti dengan Dadang yang menjanjikan akan segera kembali bermain di Yogya lagi. Ya, mereka puas bermain di depan audience Yogyakarta yang selalu mengapresiasi setiap penampilan musik di konser dengan sangat baik.
Kejutan-Kejutan WSATCC
Sudah dua band yang tampil, namun konser Suara Tujuh Nada di Teater Garasi malam itu belum berakhir. Masih ada satu band lagi bertanggungjawab memainkan musiknya. Setelah disuguhi curhatan manis Stars and Rabbit, dan diajak berfilosofi dan merenungkan kehidupan oleh Dialog Dini Hari, berikutnya penonton diajak naik mesin waktu menuju era 60-an dan 70-an, saat celanacutbray adalah segalanya dan hotpants belum begitu digdaya. Ya, inilah saat WSATCC bermain di panggung.
Band jebolan fakultas seni rupa IKJ ini menyajikan musik ala 70-an, dengan formula pop, funk, jazz, beat disco dan kadang swing. Penonton yang duduk di bangku mendadak tak bisa tenang, tubuh mereka seperti otomatis bergoyang resah menyaksikan penampilan Aprilia Apsari (vokal), Ricky Virgana (bass), Saleh bin Husein (gitar), Yusmario Farabi (gitar) dan John Navid (drum). Aksi mereka memang memukau, atraktif dan menyenangkan. Walaupun sangat disayangkan malam itu WSATCC harus kehilangan atmosfer vintage dan fill sound synthesizer 70-an di lagu-lagunya karena absennya Aprimela Prawidyanti sang kibordis yang sedang berhalangan hadir.
Sembari berdansa-dansi dengan gaya khasnya, Sari sang vokalis mendendangkan “Sabda Alam”, “Masa Remadja”, dan “Senja Menggila.” Dengan format penuh seperti biasa mereka lakukan di tiap show (minus keyboard tentunya). Pada lagu ke empat, WSATCC memberi kejutan dengan bereksperimen, nampaknya hal ini untuk menutupi kekurangan akibat absennya departemen keyboard dan synthesizer. Jadilah Ricky Virgana meletakkan bassnya lalu memainkan sebuah Cello, lalu dengan mendayu WSATCC membawakan “Nothing to Fear”, “Bersandar”, “Runaway”, dan “Today Is No Sunday.”
Saat membawakan “Runaway” Sari menceritakan betapa istimewanya lagu itu, merupakan lagu pertama WSATCC yang diciptakan saat pameran seni rupa “Dialog Dua Kota” hasil kerjasama kawan-kawan seni rupa IKJ dan ISI Yogyakarta. Seolah Sari ingin menegaskan bahwa antara dua perguruan tinggi seni itu ada hubungan baik yang terjalin sejak dulu, hingga sekarang.
Kejutan berikutnya dihadirkan White Shoes saat Sari memutuskan mundur kebackstage, lalu para cowok yang tersisa memutuskan membentuk “sebuah band dalam band.” Mereka saling bertukar instrumen di lagu “La Javanese” di mana John Navid yang biasa menggebuk drum di belakang mendadak dipaksa membetot bass hingga terkesan kaku dalam memainkannya, Ricky beralih ke gitar dan bernyanyi sedangkan Rio Farabi pindah ke drum, sedangkan Saleh masih setia dengan Gibsonnya.
Kemudian “band dalam band” ini bertukar instrumen lagi, Saleh pindah ke drum, John mendentingkan nada manis Glockenspiel, Rio membetot bass, dan Ricky pada gitar mulai melantunkan hits lama band legendaris Pure Saturday; “Pathetic Waltz” yang seolah melegitimasi betapa band pop Bandung itu sangat dihormati oleh banyak band lain setelahnya. Persistensi membuahkan respect,seperti diungkapkan Ricky yang menyatakan “Pure Saturday adalah salah satu band idola saya.”
Sesi “sebuah band dalam band” harus diakhiri saat Sari kembali ke panggung dan para lelaki kembali ke instrumen masing-masing. Penonton dihibur dengan lagu yang akan segera dirilis dalam EP terbaru mereka, 2 lagu daerah berjudul “Lembe-Lembe” dan “Te O Dendang.” Lagu yang seolah menjadi pengingat bahwa WSATCC sempat menjadi band pendukung kampanye penyelamatan Lokananta, arsip musik nasional dan studio legendaris yang nyaris bangkrut di pojok kota Solo.
WSATCC menutup penampilannya dengan lagu yang pasti disuka banyak orang, “Aksi Kucing” menimbulkan suara nyaring “meong-meong” di seluruh penjuru ruangan. Sebagai akhir yang manis, band yang sempat merilis album di label asal Amerika Minty Records ini menghadiahkan sebuah encorebertajuk “Kapiten.” Dan tuntaslah konser Suara Tujuh Nada di Teater Garasi, Kamis malam itu.
Menanti Seri Konser Berikutnya
Semua penonton pasti berterimakasih dalam hati kepada G Production yang menyajikan konser dengan skala kecil namun intim ini. Kecil karena kuota penonton yang hanya dibatasi 200 tiket, intim karena setelah konser selesai para penonton bisa bercengkerama dengan artis yang barusan ditontonnya, entah sekadar berfoto maupun ngobrol. Sepertinya G Production juga akan membawa konser kecil dan intim ini ke tataran berikutnya, hal ini terbukti dengan ditulisnya dalam pamflet bahwa ini konser seri pertama, berarti akan ada seri berikutnya. Jika di seri pertama saja sukses begini, dapat kita simpulkan bagaimana suksesnya konser berikutnya.
Konser Suara Tujuh Nada di Teater Garasi ini juga menarik dari segi besarnya animo penonton yang hadir. Tiket yang disediakan sebanyak 200 buah sudahsold out 2 hari setelah penjualan tiket dibuka. Sementara mereka yang tak kebagian tiket terpaksa cukup puas menonton di luar venue melalui speaker dan layar yang disediakan panitia, padahal dengan banderol 50 ribu per tiket bisa dibilang cukup mahal dibandingkan konser-konser musik lain yang pernah digelar di Yogyakarta. Apalagi Teater Garasi sebagai venue konser yang terletak di pinggiran kota Yogya, berbeda dengan Purnabudaya UGM, JNM, atau stadion Kridosono sekalipun yang tepat berada di jantung kota.
Namun kombinasi yang tepat dari strategi marketing dari mulut ke mulut, ditambah value yang ditawarkan dimana 3 band yang tampil adalah band yang di atas rata-rata. Dan penyebaran info yang massif dan viral di social media,mendongkrak gengsi konser ini sebagai konser luar biasa dengan kesan ekslusifitas tinggi karena hanya 200 orang yang beruntung dapat menonton. Dan ramailah para scenester Yogya memburu tiketnya. Walau sebenarnya maksud panitia membatasi kuota penonton bukan untuk memunculkan kesan ekslusif, sesuai penjelasan Lintang Sunarta selaku Project Director konser Suara Tujuh Nada dibatasinya jumlah tiket hanya 200 buah mempertimbanganvenue yang hanya mampu menampung kapasitas 200-an orang.
Akhirnya penonton pulang dengan senyuman, setelah puas dengan ‘suara tujuh nada‘ yang menggema dari tiga band berbeda. Panitia tentu juga puas konsernya berjalan dengan lancar, malam berikutnya rombongan tur berpindah ke pulau Dewata. Dan semua orang punya harapan yang sama: semoga tahun depan kepuasan itu dapat hadir kembali saat ada seri berikutnya dari konser Suara Tujuh Nada, entah dengan artis yang sama maupun berbeda.
Aris Setyawan: Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.