Penangkapan 65 orang Punker (sebutan untuk mereka penggiat Punk) pada tanggal 10 Desember 2011 di Banda Aceh oleh pihak yang berwajib akhirnya menimbulkan polemik. Ada yang pro dengan penangkapan itu karena menganggap Punk semacam penyakit masyarakat yang harus dibersihkan, banyak juga yang kontra karena menganggap penangkapan punk ini diskriminatif dan mengekang kebebasan berekspresi.
Berbagai protes dan penggalangan petisi mendukung pembebasan para Punker di Banda Aceh bermunculan di internet, tak sedikit komunitas Punk tanah air dari berbagai daerah menyatakan keberatan akan ditangkapnya teman-teman Mereka. Bahkan polemik ditangkapnya Punker di Banda Aceh ini sampai juga ke luar negeri dimana banyak Komunitas Punk menyatakan simpati pada saudara Punker Mereka di Aceh, beberapa lantas melakukan tindakan provokatif seperti beberapa Punker yang mencoret-coret tembok KBRI di Moscow dengan tulisan “Punk is not a crime” sebagai bentuk protes pada Pemerintah Indonesia.
Penangkapan Punker di Aceh mengingatkan Kita kembali betapa di Negara ini pemberangusan dan pelarangan akan suatu bentuk kesenian masih sering terjadi. Di masa lampau pemberangusan pernah dilakukan oleh Presiden pertama Soekarno yang melarang Musik barat yang katanya “ngak-ngik-ngok,” imperialis, serta tidak menumbuhkan semangat nasionalisme. Bahkan sang presiden memerintahkan agar memenjarakan Koes Plus, sebuah grup musik yang kala itu dianggap mewakilkan semangat ngak-ngik-ngok yang dilarang dalam musik Mereka. Masih segar pula di ingatan Kita saat pemerintah orde baru melarang peredaran musik-musik melankolis ala Betharia Sonata dan Ratih Purwasih karena dianggap ‘cengeng’ dan melemahkan semangat pembangunan.
Tak dapat dipungkiri sejak dulu Punk adalah salah satu musik yang banyak mendapat stigma negatif dari masyarakat luas karena penampilan para penggiatnya yang terkesan urakan dan berandalan. Inilah yang menjadi alasan penangkapan Punker di Aceh dimana penampilan bebas serta attitude Mereka bertentangan dengan hukum syariah yang diterapkan di bumi serambi mekah itu. Punk dicap sebagai bentuk kerusakan moral yang harus dienyahkan dari Aceh dengan cara yang dianggap paling mudah: yakni melarang dan memberangus Mereka.
Musik dan Ideologi
Tindakan pelarangan ini sebenarnya sebuah upaya yang sulit dilakukan sebab Punk bagaimanapun bukanlah sekedar musik yang didengarkan, ia juga adalah sebuah paham yang diyakini para penggiatnya. Sebuah pandangan hidup, maka mengutip pernyataan seseorang pendukung Punk dalam status twitternya yang menyatakan “Polisi dapat menangkap Kami, tapi tak dapat menghentikan pemikiran Kami.” Menyiratkan Punk lebih dari sekedar musik, tapi merupakan pandangan hidup yang coba dipertahankan dan diyakini para penggiat Punk. Sesuatu yang dijelaskan Jeremy Wallach bahwa Musik adalah juga adalah sebuah ideologi bagi para pendengarnya (Wallach, 2008). Di era kebebasan berpendapat sekarang ini mungkinkah Kita melarang seseorang berpikir dan memiliki keyakinan?
Sejak awal pergerakan Punk di Inggris beberapa dekade lampau sampai sekarang, keyakinan yang digaungkan Punk adalah Anarkisme, paham yang meyakini kehidupan lebih baik dapat dicapai saat setiap orang adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Sementara itu pemelintiran akan makna sebenarnya anarki ini terus terjadi dimana anarki disamaratakan dengan kata “kekerasan.” Barangkali inilah sebab Punk selalu mendapat stigma negatif, sebab ideologi yang Mereka anut disamaratakan sebagai kekerasan. Maka attitude Mereka yang bebas dan anti-kemapanan sebagai counter-culture akan homogenisasi budaya yang terjadi di dunia yang Kita tinggali, dianggap sebagai kerusakan moral yang harus diberantas.
Penangkapan para Punker di Aceh seperti sebuah gejala penolakan ideologi atau pandangan hidup yang tidak sesuai dengan apa yang Kita jalani secara umum setiap hari, Punk berbeda dengan keseharian (yang Kita anggap normal) di hidup Kita, maka Punk harus dilarang. Tapi bukankah itu bertentangan dengan cita-cita demokrasi Indonesia yang membebaskan warga negaranya berpendapat dan hidup sesuai keyakinannya? Selama itu tidak mengganggu kehidupan berkebangsaan secara luas.
Yang perlu disoroti lagi adalah sikap Pemkot Banda Aceh terkait penangkapan para punker ini, Pemkot menyatakan Punk tidak boleh ada di Aceh. Sesuatu yang sebenarnya lagi-lagi sulit dilakukan ketika Kita kaitkan dengan program Visit Banda Aceh yang dijalankan Pemkot untuk mengundang para wisatawan datang dan meramaikan sektor pariwisata. Seolah-olah Pemkot tidak siap dengan akibat dari dibukanya Kran masuk ke Aceh melalui Visit Banda Aceh ini yang mau tak mau akan membawa masuk pula berbagai pengaruh budaya, termasuk punk. Ketika kemudian Punk dilarang atas nama hukum syariah, bukankah ini pertanda beberapa kebijakan pemerintah Kota (seperti program Visit Banda Aceh) bertentangan dengan Hukum Syariah yang diterapkan disana?
Terkait Hukum syariah, ini memperlihatkan bahwa negara belum mampu berdiri dengan hukum yang bersikap netral atas menyikapi keyakinan dan perbedaan yang ada. Seolah keberadaan pemerintah pusat amat lemah, respon Mereka tidak kuat terhadap perda-perda yang lahir dan itu mendiskriminasi kelompok tertentu (yang terpinggirkan, termasuk Punk). Masyarakat pun juga perlu diberi penjelasan, mengenai posisi Indonesia saat ini, laalu penjelasan untuk dikatakan sebagai yang Islami, tidak perlu dengan ada perda-perda agama, apalagi perda yang berisikan atas suara mayoritas, sebab ini sangat bertentangan dengan Pancasila, serta UUD 1945, dan cita-cita demokrasi Indonesia.
Agaknya Pemerintah pusat harus turun tangan dalam permasalahan ini, bahwa penangkapan Punker di Aceh bagaimanapun menciderai cita-cita demokrasi yang membebaskan tiap warga Negara berpendapat dan bertentangan dengan janji demokrasi dari konstitusional Negara Kita. Jika penangkapan para Punker dilandaskan tuduhan Kriminal dan kekerasan (seperti yang selama ini dilekatkan pada Mereka). Tentu ini harus dapat dibuktikan secara hukum, jangan menangkap Punk atas dasar penampilan beda dan stigma negatif yang terlanjur melekat pada kaum kumal itu.
ARIS SETYAWAN
Yogyakarta, 15 Desember 2011