Indie yang Banal

( Dimuat di situs Jakartabeat.net pada tanggal 19 Juni 2011. Link: http://jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/608-indie-yang-banal.html )

Pasar dapat diciptakan..”

(Efek Rumah Kaca)

Banyak orang sudah tahu apa itu indie, yang sering dikaitkan dengan musik. Tetapi apa sebenarnya indie itu? Berakar dari kata “Independent” yang akhirnya menjadi indie, kurang lebih berarti independen alias mandiri. Jadi indie berarti mandiri dalam membuat sendiri jalur distribusi sebuah produk. Dalam segala aspek, bukan hanya musik.

Selain musik, ada juga film indie, clothing indie, dan lain-lain. Apa yang hendak saya bicarakan di sini ada dalam konteks musik indie, yang selalu disebut-sebut sebagai musik yang beda. Lalu musik yang seperti apakah indie itu?

Dari Metode Distribusi ke Genre Musik

17 tahun yang lalu sebuah mini album dengan empat  lagu bertitel 4 Through The Sap dirilis.  Di Indonesia, album inilah yang dianggap sebagai tonggak awal kesuksesan album yang dirilis sendiri oleh sang artis tanpa tergantung pada hirarki dan birokrasi major label. Band yang menuai sukses di awal metode rilis mandiri ini adalah Pas Band, pemilik mini album bergaya musik rasa Seattle sound itu.

Sebelum Pas Band memang ada musisi lain yang rilis album mandiri. Shark Move misalnya. Namun, Pas Band lah yang memulai pergerakan Indie di Indonesia. Pasalnya, pasca album yang di dalamnya memuat lagu seperti “Dogma” atau “Here Forever” ini, mulai ramailah band dan musisi lain yang melakukan proses produksi album mandiri.

Rata-rata musisi yang merilis album secara mandiri dan independen ini adalah mereka yang ditolak oleh major label alias perusahaan rekaman besar. Bernaung dibawah major label memang menggiurkan, dengan luasnya dukungan distribusi dan pemasaran. Namun, tentu atas nama selera pasar dan industri musik, mereka yang bernaung di bawah label besar ini harus tipikal sama: mudah dijual. Sementara beberapa musisi menyebut hal itu sebagai pembatasan kreatifitas.

Maka, satu-satunya jalan keluar terbaik adalah merilis sendiri karya musik ini agar tak terkekang birokrasi rumit major label. Ini yang membuat musik-musik yang dirilis secara independen terasa beda dan elitis. Karena, mereka tidak mempertaruhkan lehernya di industri musik besar yang harus laku agar balik modal. Mereka lebih mengejar kepuasan estetika. Hal ini yang kemudian memunculkan istilah “musik indie” yang lebih sering diartikan sebagai “musik yang beda”.

Indie lantas ditasbihkan menjadi sebuah genre musik yang menawarkan musik yang beda tadi. Padahal, sesungguhnya indie awalnya ya adalah sebuah metode produksi dan distribusi independen. Agak kurang tepat bila lantas disamaratakan bahwa musik yang beda itu indie. Sebab toh di luar sana ada juga musik yang beda, tapi major.

Indie Yang Major, Kritis yang Banal

Rupanya industri besar musik mulai melirik potensi dalam nama indie ini. Wajar bila akhirnya nama indie masuk ke kancah major. Industri musik mulai menjual musik yang bernama indie, dengan sebuah legitimasi bahwa apa yang dimaksud indie adalah musik yang beda tadi.

Sebenarnya tak ada yang salah dalam komodifikasi indie ini. Joseph Heath dan Andrew Potter dalam karya tulis mereka Radikal Itu Menjual menyebut bahwa segala yang radikal memang menjual. Label elitis dan beda indie dianggap radikal, maka harus dieksploitasi dalam industri musik besar agar mampu menghasilkan keuntungan. Terhitung ada beberapa band yang tadinya berjuang di jalur indie, akhirnya masuk juga ke jalur major label ini untuk ekspansi pemasaran.

Bahkan Pas Band sang pelopor pergerakan indie pun hingga kini bernaung di sebuah label major. Jadi timbul sebuah pertanyaan. Jika esensi indie yang hakiki adalah sebuah metode produksi dan distribusi, bukan genre musik, bagaimana bisa major label yang juga sebuah entitas bisnis menjual metode itu? Sama seperti ketika mereka menjual genre pop, rock, dangdut, melayu? Tibalah saat indie dibaptis menjadi genre musik demi menjadi komoditas.

Nilai lebih dari musik yang dirilis dalam jalur indie adalah  musik mereka tak terbatas pakem industri. Karena itu maka bisa bebas berkreatifitas menyampaikan apapun. Juga menyampaikan pesan kritisisme dari sang musisi dalam menanggapi apapun yang dianggap kurang beres.

Ambil contoh band pop minimalis Efek Rumah Kaca dengan lagunya “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja.” Dalam lagu itu band trio ini menyampaikan pesan seperti dalam lirik “kita berdua hanya berpegangan tangan, tak perlu berpelukan.”

Namun ketika trio itu konser membawakan lagu tersebut, toh para penontonnya yang berpasangan tetap berpelukan. Lalu lagu “Amerika” dari band Jogja Armada Racun yang mengkritisi adiksi kita akan semua yang berbau Amerika. Toh para pendengarnya tetap gila Amerika dan mengkonsumsi amerikanisasi itu sendiri.

Lantas, pertanyaannya adalah: “ketika sebuah lagu dari para musisi yang dianggap beda ini, yang sebenarnya lirik lagunya kritis, namun toh tidak membuat perubahan apapun dalam hidup para pendengarnya, apa yang salah?

Apakah kritisisme musisi indie ini yang menjadi banal dan remeh temeh? Atau salah para pendengarnya yang terlalu bebal dan menganggap semua musik kritis yang katanya beda ini hanya sebatas hiburan selayaknya musik pop atau rock yang dijual major label, bukan sebagai dogma layaknya kitab suci agama yang setelah dibaca harus diterapkan dalam kehidupan agar menuju kebaikan?

Barangkali kecemasan terakhir yang kita rasakan adalah ketika kita mengamini keputusan Bob Dylan yang berhenti membuat musik kritis karena sadar bahwa musiknya tak membuat perubahan. Ketika tiba saat semua musisi yang (katanya) beda dan kritis yang berjuang di jalur indie ini, kala itulah semua musik akan seragam. Dan indie, sebagai sebuah metode produksi dan distribusi musik yang berbeda itu akan jadi seragam juga dengan saudara jauhnya major label. Itu berarti ucapan selamat datang pada homogenisasi industri musik.

*catatan redaksi: tulisan ini adalah tulisan ketiga dari rangkaian diskusi tentang musik Indie di Jakartabeat.net.

Link ke tulisan pertama, “Kegalauan Indie” oleh Andaru Pramudito: http://jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/601-kegalauan-indie.html

Link ke tulisan kedua, ” Sempitnya Paradoks” oleh M.Hilmi Khoirul Umam: http://jakartabeat.net/humaniora/kanal-humaniora/esai/605-tanggapan-untuk-andaru-pramudito.html

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.