Kajian ini akan dimulai dengan sebuah rasa syukur bahwa sekarang ini musik Indonesia akhirnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Musik Indonesia memasyarakat dan beredar secara luas diseluruh penjuru negeri dan dijadikan prioritas hiburan oleh segenap lapisan masyarakat, bisa dibilang ini adalah pertanda kebangkitan kembali musik Indonesia yang sebelumnya sempat mengalami kelesuan dan kalah oleh invasi musik-musik impor. Hal ini terbukti dengan lebih tenarnya musik buatan musisi lokal di media-media baik televisi maupun radio. Airtime lagu-lagu musisi lokal meningkat dengan cepat, lalu acara-acara musik di televisi juga menjamur menayangkan artis-artis musik negeri sendiri. Dan semua acara-acara musik tersebut selalu menjadi favorit setiap orang. Konser-konser gratis yang kerap diadakan di tiap daerah juga selalu ramai dan mengundang minat para penikmat musik untuk menyambangi konser itu. Bukankah ini adalah sebuah bukti bahwa musik Indonesia memang sedang menjadi tuan rumah di negeri sendiri? Kita bisa jawab ya, walau memang ada beberapa pihak yang memprotes dan berpendapat musik Indonesia yang sedang digandrungi masyarakat ini mengalami penurunan kualitas karena terlalu berasa industri hingga mematikan segi estetika seni nya. Pertanyaannya kemudian adalah: apa benar musik Indonesia kehilangan segi estetika seni nya dan hanya sebuah komoditas yang diperdagangkan industri musik negeri?
Kita bisa jawab ya atau tidak pertanyaan diatas, tapi seandainya Kita jawab Ya, mari Kita coba telaah agar jawaban Ya bukan sekedar jawaban eskapis belaka. Belakangan ini musik populer yang digemari masyarakat kurang lebih memang berciri sama. Baik dalam aransemen musik yang dibawakan maupun penampilan para musisi pengusung musik tersebut. Itulah yang dipermasalahkan oleh beberapa pihak yang menuding musik Indonesia hanyalah sebuah komoditas, barang dagangan yang dijual para pelakon industri musik negeri. Karena prinsip dalam berdagang adalah apa yang sedang laris itulah yang harus dijual maka dibuatlah musik-musik seragam ini mengikuti musik sebelumnya yang sudah laris terlebih dulu di pasar. Salah seorang pengamat musik dalam pernyataannya di sebuah majalah musik menyebut fenomena keseragaman musik ini sebagai epigon. Memang apa yang salah dengan epigon dan keseragaman ini? Apakah musik Indonesia salah dan dicap kehilangan estetika seni nya hanya karena keseragaman ini? Musiknya memang tidak salah, yang agaknya kurang tepat dan perlu dicermati ialah penetapan musik Indonesia sebagai komoditas tersebut. Theodor Adorno dalam analisis kritisnya mengatakan bahwa musik yang dilahirkan industri belakangan ini mengalami standarisasi. Ketika sebuah pola musik atau model lirik lagu tertentu laku di pasaran, maka pola tersebut akan terus menerus direpetisi dan diproduksi ulang. Seperti dikutip Strorey dari esai Adorno berjudul On Popular Music, bahwa dampak dari kebudayaan massa mengalami reduksi sebagai berikut;
Pertama, adanya standarisasi pada musik . bila sebuah pola lagu atau lirik laris dipasaran maka pola itu akan direpetisi secara berkesinambungan, di eksploitasi hingga titik jenuh akan pola itu timbul. Kedua, musik hasil produksi industri mendorong pendengar menjadi pasif. Konsumsi musik produksi industri yang berorientasi komoditas senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya, untuk kesenangan imajinasi. Menstimulasi pendengar pada dunia pengalihan dan pemalingan perhatian yang bersifat semu.
Mengacu pada teori Adorno tentang musik yang dihasilkan industri budaya massa tersebut dapat Kita simpulkan memang musik Indonesia dewasa ini sudah mengalami apa yang disebut standarisasi musik tersebut. Musik yang populer dan digemari masyarakat memang kebanyakan bertipikal sama, dengan pattern lagu yang nyaris sama, bersifat easy listening dengan lirik yang mudah dimengerti dan tidak mengajak berpikir terlalu dalam. Agaknya para pelaku industri musik menerapkan jurus aman dengan melahirkan sebuah musik yang sudah laku terlebih dahulu, Mereka lantas mengekor kesuksesan musik sebelumnya dengan harapan memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari musik yang diorbitkan tersebut. Herbert Marcuse menyebut indikasi ini sebagai berikut, bahwa masyarakat modern sebagai masyarakat satu dimensi (One Dimensional Man). Didalam masyarakat satu dimensi ini segala pandangan hidupnya hanya diarahkan pada satu tujuan utama saja, yakni mempertahankan sistem yang telah ada dan bertahan. Dan sistem yang bertahan itu adalah kapitalisme. Sebuah sistem dimana yang paling kuat dan paling bermodal yang berkuasa. Maka pola pikir masyarakat Indonesia digiring menuju masyarakat satu dimensi ini, agar mencintai dan tanpa sadar terus mengkonsumsi dan menikmati musik-musik epigon dan seragam yang dihasilkan para pelaku industri musik tadi. Para penikmat musik tentu saja tak bisa berontak dan terus menerus mengiyakan semua musik seragam yang disuguhkan kepada Mereka tersebut. Karena strategi menyeragamkan musik tadi berhasil menghipnotis Mereka menjadi pendengar pasif yang tidak banyak protes dan mengiyakan semuanya. Lagipula musik komoditas yang dijual pelaku industri tadi pada akhirnya menjadi sebuah lanskap sempurna bagi para penikmat musik ini untuk melupakan problema hidup. Seperti yang dijelaskan Adorno bahwa musik ini menstimulir para pendengarnya melupakan masalah dan menjadikan musik ini pelarian semu. Memang semu sebab musik apa yang Mereka dengarkan tersebut sebenarnya tidak dapat menyelesaikan segala problema hidup yang Mereka hadapi. Namun tetap didengarkan dan musik-musik industri tersebut menjadi sebuah pelarian sempurna untuk menumpahkan perasaan. Dan notabene musik komoditas industri ini sudah dirancang sedemikian rupa jadi mudah dicerna dan tak mengajak belajar.
Seorang antropolog bernama Alan P. Merriam dalam bukunya Anthropology of Music menjelaskan 10 fungsi pokok musik sebagai berikut:
1. Ekspresi Emosional
2. Pemuasan estetis.
3. Hiburan
4. Media komunikasi
5. Representasi simbol
6. Respon fisik
7. Penguat norma-norma masyarakat
8. Pengesahan institusi sosial dan ritual agama
9. pelestarian dan stabilitas budaya
10. Integritas masyarakat
Inilah kesalahan terbesar musik berbasis industri di Indonesia yang terlalu menekankan poin ketiga dari fungsi pokok musik itu. Musik Indonesia hanya dijadikan hiburan semata. Padahal masih ada 9 fungsi musik lain yang bisa lebih dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat. Tapi tentu para pelaku industri tak peduli dengan fungsi pokok yang bermanfaat itu, bagi Mereka yang terpenting adalah musik yang Mereka jadikan komoditas itu dipoles sedemikian rupa agar menjadi bentuk hiburan yang mudah dicerna, lalu dijual ke pasaran musik agar laku sebanyak-banyaknya dan bertambahlah pundi uang pelaku industri itu. Lantas andai Kita kaitkan fungsi pokok musik yang lain dengan kondisi musik populer Indonesia sekarang ini, alangkah menyedihkan kalau ternyata Eskpresi emosional dalam musik populer adalah ekspresi masyarakat yang mudah patah hati, integritas masyarakat Kita adalah masyarakat yang pendendam, dan masyarakat melestarikan budaya selingkuh dan pacaran tak sehat. Sebab kebanyakan tema lagu populer adalah hal-hal seperti itu. Jadi wajar bila dikaitkan dengan 10 fungsi pokok Merriam Kita simpulkan musik yang didengarkan di masyarakat adalah representasi kondisi sosio kultural masyarakat tersebut. Dengan tema lagu penuh hiburan dangkal dan enggan berlajar tersebut, maka inikah yang sedang terjadi dalam masyarakat Kita? Kita lebih suka mencari penghiburan diri, terus menerus mencari dan membuat hiburan dan enggan membuat sesuatu yang lebih besar. Seperti kata James Dean Bradfield dari Manic Street Preachers dalam lagu yang ditulisnya All We Make is Entertainment bahwa apa yang Kita buat hanyalah hiburan belaka, dalam kondisi negeri yang sedang carut marut dalam segala aspek baik sosial, ekonomi, maupun politik alih-alih mencari jalan keluar yang tepat Kita justru malah terus menerus menghibur diri agar lupa dari problema carut marutnya negeri tersebut. Para pelaku indsutri musik populer tahu celah ini, Mereka manfaatkan dengan menjual musik populer bertema hiburan dangkal. Dan masyarakat menerima dengan gembira musik komoditas berbasis indsutri tersebut tanpa mempertanyakan segi estetika seninya.
Namun bagaimanapun seragam dan epigonnya musik populer komoditas buatan pelaku industri musik tersebut Kita juga patut berbangga ternyata masih ada beberapa pelakon musik yang lepas dari arus keseragaman pasar. Mereka adalah musisi yang menggunakan musiknya tak hanya sebagai hiburan, namun juga sebagai media mengomunikasikan pesan yang menjadi pemikiran Mereka, dan menggunakan musik yang Mereka ciptakan sebagai representasi simbol dan kepuasan estetika. Seperti yang dikutip Dominic Strinati dalam buku Populer Culture, Adorno menyebutnya “Elitisme.” Adorno menerangkan elitisme disini sebagai sebagian kecil dari Mereka yang terpilih dan tercerahkan, dengan cara melaksanakan berbagai praktek intelektual dan kultural dalam musik Mereka, bisa memisahkan diri dari berbagai macam aktivitas massa sehingga bisa melawan kekuatan Industri budaya. Dan ditengah gencarnya serbuan musik populer ini memang ada beberapa musisi elitisme yang berkembang dan memberi warna yang berbeda pada corak musik Indonesia. Para musisi elitisme ini enggan terseret arus musik populer dalam pasar yang Mereka anggap sudah jenuh. Dan sebagai solusi agar musik Mereka dapat diedarkan akhirnya para musisi ini menciptakan pasar sendiri bagi musik yang Mereka buat. Sebagai contoh adalah Efek Rumah Kaca yang dengan konsep “Pasar Bisa Diciptakan” yang Mereka buat, terbukti trio dengan musik minimalis ini mampu memiliki pasar tersendiri dan para penggemar loyal yang menyukai musik yang Mereka buat. Karena Efek Rumah Kaca membuat musiknya tak terikat dengan keseragaman pasar musik populer, jadi Mereka dapat membuat musiknya dengan lebih bebas. Maka jadilah musik Mereka mampu memenuhi banyak poin penting dari 10 fungsi pokok musik tersebut. Musik Mereka jelas sebagai hiburan, namun juga mengomunikasikan pesan dalam lirik lagu yang kritis bertema tentang kondisi sosial politik negeri. Selain Efek Rumah Kaca tentu masih banyak lagi musisi yang tergolong elitis ini. Tak perlu disebutkan disini karena akan terlalu panjang.
Lalu apa solusi yang dapat ditawarkan dalam permasalahan musik populer Indonesia yang berbasis komoditas ini? Semua sebenarnya kembali ke para pendengar dan penikmat musiknya sendiri. Para pelaku indsutri tak bisa secara mentah-mentah disalahkan karena watak Mereka memang sudah seperti itu. Apa yang ada di rencana jangka panjang Mereka memang bagaimana mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dalam industri musik populer. Jadi solusi terbaiknya adalah datang dari para penikmat musiknya yang harus lebih selektif dan cermat memilih musik yang Mereka dengarkan, pilihlah musik yang lebih berkualitas dan jangan terbawa arus terus mendengarkan musik populer yang seragam. Juga para musisi nya agar lebih memikirkan bahwa apa yang Mereka buat dan kerjakan menjadi panutan bagi para pendengar dan penggemar. Jangan juga berorientasi terlalu besar pada keuntungan maka dengan serta merta mengikuti arus pasar musik yang sedang laku tanpa mau memikirkan dampak dari lagu yang Mereka buat di tengah masyarakat.
Kajian tentang musik Indonesia sebagai komoditas ini akan ditutup dengan sebuah pertanyaan: bagaimana bila ternyata untuk mengubah kondisi negeri yang sedang carut marut dalam segala aspek kehidupan ini cukup mudah, yakni dengan mengubah selera musik yang Kita dengar dari musik hiburan dangkal buatan industri populer menjadi musik yang lebih mengajak belajar? Karena musik Indonesia adalah representasi kondisi sosio kultural bangsa jadi bila ingin memperbaiki nasib bangsa ubah pula pola pikir Kita dalam menikmati musik jangan hanya sebagai sebuah hiburan berorientasi komoditas namun juga sebuah kepuasan estetika dan media mengkomunikasikan pesan. Namun bila para pelaku industri masih menggunakan musik sebagai komoditas atau barang jualan yang menghasilkan banyak uang, dan masyarakat penikmat musiknya pasrah saja menikmati arus musik seragam ini. Maka memang benar kata Manic Street Preachers dalam lagu All We Make is Entertainment: “And we discovered was even more despair But we learned how to cope, we learnt now not to care…All we make is entertainment, A sad indictment of what we’re good at, We’re all part of the grand delusion.” bahwa Kita terus membuat hiburan untuk melupakan segala problema hidup, tanpa mau berusaha bagaimana membuat jalan keluar.
SELESAI
ARIS SETYAWAN
Yogyakarta, 5 Februari 2011
( Created and sent from my friend’s PC. for more word and shit log on to http:/www.arisgrungies.multiply.com )