Cerpen: Samen Leven

23 tahun setelah Aku lahir dari rahim Ibuku. Kini Aku adalah lelaki dewasa. Aku sudah bisa berjalan sendiri menantang kejamnya dunia. Aku tak lagi menyusu puting ibu, melainkan menyusu puting seorang perempuan yang dulunya orang lain namun sekarang jadi perempuanku. Aku tak lagi diciumi bibir Ibu yang gemas akan imutnya bayiku, namun Aku kini menciumi sintalnya seorang perempuan yang 1 tahun lalu asing namun kini jadi kekasihku. Dulu Aku tinggal dirumah orang tua ku dengan segala rupa afeksi dan kasih cinta keluarga didalamnya, sedangkan sekarang Aku tinggal dibawah atap sebuah istana mungil berukuran 3×4 meter yang konon bernama kamar kost. Sebuah tempat dimana Aku tak lagi merasakan afeksi dan kasih cinta keluarga seperti dulu, namun afeksi itu tergantikan panasnya birahi tiap malam bersama perempuanku yang suka mengerang dan berbisik “sayang” hingga Aku lupa dengan kata “sayang” yang dulu pernah dibisikkan Ibuku ke-cuping telinga. Dan sekarang Dia sedang memanggilku “Sayang”, perempuanku memanggil mengajak memagut kasih di istana mungil. Jadi biarlah ku sambut ajakannya.

***

21 tahun setelah Aku keluar dari perut Ibuku. Kini Aku adalah perempuan dewasa, dewasa karena fisikku memang sudah tak sama dengan Aku masa kecil dulu. Kini Aku perempuan cantik berambut panjang dengan kulit putih. Payudaraku juga muncul tanda Dia siap menjalankan tugasnya menyusui seorang anak. Namun belum saatnya 2 puting itu disusui anakku, karena memang Aku belum beranak. Alih-alih putingku malah diisap seorang lelaki yang 1 tahun lalu adalah orang asing namun kini jadi lelakiku. Bila saat kecil Aku diciumi Ibu Bapakku yang mungkin kegirangan mendapat karunia seorang putri cantik yang terlahir kedunia, maka kini Aku diciumi seorang lelaki yang dulunya adalah orang lain namun kini jadi kekasihku. Masa kecilku kuhabiskan dirumah orang tuaku yang didalamnya bersemai kebahagiaan keluarga dan kesenangan serta cinta. Namun setelah dewasa kini Aku memutuskan pergi dari rumah orang tuaku dan memilih tinggal di istana mungilku berukuran 4×6 meter yang konon kuberi nama kamar kost, aku memilih tinggal disini karena Aku bisa bebas berkunjung ke istana lelakiku untuk berbagi kasih, atau kalau sedang malas maka Dia yang bertandang ke istanaku. Aku suka bermanja-manja padanya, kubisikkan kata “sayang” ke cuping telinganya. Baik di kamar kostnya, atau saat sekarang di kamar kostku. Aku panggil dia “sayang” dan Dia sudah tahu maksudku dan mauku. Lelakiku tahu bahwa Aku mengajaknya memadu kasih, Dia menyambut ajakanku. Jadi biarlah sekarang kupadu kasih dengannya.

***

23 tahun yang lalu akhirnya tali pusar yang tadinya menyatukanku dengan tubuh Ibuku terputus. Sekarang Aku bebas. Aku tengah berusaha menghayati ilmu, mengejar ilmu yang memang harus dikejar agar tak menjauh. Aku mencari ilmu dengan mengikuti pepatah lama “kejarlah ilmu sampai kenegeri Cina.” Namun agak terlalu jauh kiranya bila benar-benar sampai di Cina, maka Aku cukup pindah ke kota lain saja yang agak jauh dari kota awalku yang berada disebuah pulau besar yang banyak hutannya. Banyak ilmu yang kudapat dikota baru ini. Termasuk ilmu bercinta yang kudapat dengan mencintai perempuanku. Dia perempuan yang hebat, agak kekanak-kanakan memang. Tapi menyenangkan. Dia suka membanjiriku dengan cinta yang membuatku tenggelam, megap-megap mengejar udara. Dan saat Aku hampir mati lemas kehabisan udara Dia seolah tahu lantas memberikan nafas bantuan dengan menempelkan bibirnya yang merah kebibirku. Kami suka bercinta, berbagi kasih di istana mungil. Istananya maupun istanaku. Kami suka mengeksplorasi tubuh dan mencari tahu kelemahan masing-masing hingga akhirnya Aku tahu kalau perempuanku tidak suka gaya dari belakang. Seperti sekarang ini Kami sedang bercinta di istana mungilnya dan Aku berusaha tidak mencintainya dengan gaya belakang karena perempuanku tak suka itu. Berkali-kali perempuanku masih membisikkan kata “sayang’ yang terus menerus mengiang di otakku. Suaranya yang setengah mendesah mengucapkan ‘sayang.”

***

21 tahun yang lalu ketergantunganku pada Ibuku dalam hal asupan nutrisi selama dalam kandungan akhirnya berakhir. Karena Beliau menyalurkannya ketubuhku lewat tali pusar yang mengikat Kami saat Aku dikandungnya selama 9 bulan lebih, karena ada lebihnya itu lalu Aku dipaksa keluar Dokter yang mengiris kulit perut Ibu, memotong tali pusar yang menyatukan Kami, dan terlepaslah Aku. Kini Aku perempuan dewasa, jadi Aku bisa mengasupkan nutrisi sendiri ke tubuhku. Aku bebas makan apapun, bebas memasukkan apapun kemulutku. Termasuk memasukkan kemaluan lelakiku kemulutku. Seperti sekarang yang sedang kulakukan di istana mungilku di sebuah kota yang jauh dari kota asalku yang banyak hutannya. Aku tengah mencari ilmu di kota ini, agar ketika lulus nanti bisa membanggakan kedua orang tua di kota asal. Ilmu apapun kucari, termasuk ilmu percintaan yang kupelajari bersama lelakiku di istana mungiil. Miliknya atau milikku.  Kami saling mempelajari tubuh masing-masing hingga akhirnya Aku tahu bahwa lelakiku suka bila aku memanggilnya “sayang” dikala kami bercinta. Karena itu Aku terus memanggilnya “sayang.”

***

23 tahun yang lalu ketika Aku lahir, Aku kemudian disayangi orang tuaku. Mereka membesarkanku dan berharap Aku jadi anak yang penurut. Juga petuah-petuah bijak yang diharapkan Aku jadi lelaki bijak kelak. Dan inilah kini Aku lelaki bijak yang tengah mencari ilmu di kota lain. Ilmu apapun termasuk ilmu bercinta. Walau Beberapa orang ternyata menganggapku profan dan hina karena Aku mempelajari ilmu cinta di istanaku bersama perempuanku. Kupersetankan semua itu, Mereka hanya iri karena tak mampu sepertiku yang bisa setiap saat memagut leher putih perempuanku di kamar kost. Apa dasar mereka melarangku? Mereka bukan orang tuaku, Mereka hanya gerombolan konservatif yang bernama masyarakat. Bukankah konon Adam Hawa sekalipun bebas berpenetrasi di Surga karena Mereka tidak menikah dan hanya Samen Leven belaka? Kalau Adam Hawa saja diperbolehkan lantas kenapa Kami yang keturunan Adam tak boleh mempraktekkan hal yang sama? Ah sudahlah, merusak moodku Saja. Aku dan perempuanku hampir klimaks kini, hampir, tandanya Dia sudah mengerang lebih keras seraya terus memanggilku “SAYAAAANNGGG…..”

***

21 tahun setelah doa kedua orang tuaku berharap Aku jadi anak yang baik. Kini Aku memang anak perempuan yang baik,sangat baik.  dan Aku sedang hampir klimaks bersama lelakiku. Hampir, namun moodku agak terganggu sedikit dengan sebuah sms yang baru masuk di hp ku. Kubaca pesannya sembari meladeni liarnya gerakan lelakiku. dari Ibuku “sayang, Kamu ujiannya besok kan? Jangan lupa belajar ya, makan ga boleh telat, kurangi main, oh kalau bisa jangan pacaran dulu ya sayang. Konsen aja kuliah dulu, kamu kan putri ibu yg cantik dan baik. Jadi ibu yakin kamu ga akan macam-macam disana ya.” Oh sms dari Ibuku mengangguku saja, hampir klimaks, ayo “SAYAAANNGG…”

***

23 tahun setelah Aku melahirkan anak lelakiku. Kini Dia sudah dewasa tentu, karena akhirnya setelah sekian lama Aku dan suamiku menjaganya dirumah, Dia lepas kini untuk belajar hidup mandiri. Dia menuntut ilmu disebuah kota jauh yang konon banyak pelajarnya. Tentu Aku dan suamiku cemas, namun kami relakan kepergiannya demi menuntut ilmu. Dengan selaksa harap bahwa anak lakiku itu akan jadi manusia pintar dikota sana dan kelak akan membanggakan Kami. Karena dia Anak lelakiku yang baik.

***

Ayo, perempuanku, Aku keluar “SAYAAAANNGG…”

***

21 tahun sudah berlalu. Dulu anak perempuanku tak mau keluar dari rahimku padahal sudah 9 bulan lebih, entah kenapa. Akhirnya dokter harus memaksanya keluar dengan membedah perutku lantas menjahit bekas lukanya setelah selesai. Aku mencurahkan seluruh cintaku padanya, sampai Akhirnya Aku memutuskan pensiun dini dari kantorku agar bisa merawat putriku itu. Biarlah sang suami yang mencari sesuap nasi, Aku lebih suka dirumah menjaga sang buah hati. Sekian lama Aku merawat anak perempuanku, menjaganya dengan selaksa harap kelak Dia akan jadi anak baik yang membanggakan untuk kedua orang tuanya. Namun pada akhirnya Aku tak bisa terus menjaganya. Karena kini Dia perempuan dewasa yang sedang belajar menantang hidup sendirian. Dia pergi kekota lain kini, sebuah kota dimana Budaya adalah nama lainnya dan pelajar adalah populasi terbesarnya. Anak perempuanku menuntut ilmu disana, aku khawatir, cemas dan takut sebenarnya bila terjadi apa-apa dengan anak perempuan yang kubanggakan itu. Namun ya sudahlah, aku dan suamiku yakin bahwa didikan kami selama ini akan menjaganya agar tetap jadi anak perempuan yang baik dan tidak nakal, hingga jika kelak lulus akan membanggakan Kami. Oh besok anak perempuanku itu ada ujian, aku harus sms Dia mengingatkan untuk belajar.

***

“SAYAAAANGGGGG……” Kamu keluar ya? “I LOVE YOOUUUU….””””

SELESAI

( hai Mahasiswa-Mahasiswi yang bercinta dikamar. Ingat, sementara Kalian saling berciuman. Bapak Ibu Kalian Dirumah tengah  menciumi foto Kalian penuh harap. )

Ket:

Samen Leven: hidup bersama dibawah satu atap tanpa adanya ikatan pernikahan karena keyakinan bahwa cinta tak perlu diikat dengan status pernikahan serta ketidakpercayaan akan institusi pernikahan. Samen Leven subur  terjadi di negara-negara maju dan negara berdemokrasi liberal yang cenderung membebaskan warganya melakukan apapun. Namun belakangan Samen Leven juga mulai merebak di Indonesia. Lebih banyak dilakukan Mereka yang jauh dari pengawasan orang tua. Banyak dilakukan juga oleh anak-anak muda sebagai simbolisasi perlawanan pada sistem keluarga Indonesia yang dianggap patriarkal dan konservatif.

ARIS SETYAWAN

Yogyakarta, 25 Juni 2010

( For more words and shits please log on to Http://www.arisgrungies.multiply.com )

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.