Jazz=Autis=Dependensia

“semakin banyak yang Kita dengar, semakin banyak yang Kita tahu”

Sebuah pedoman yang selau Saya patuhi dalam kegiatan bermusik. Baik bermain, atau mendengar. Saya menolak menjadi stagnan dalam satu genre atau aliran dan terus berusaha dinamis dan mengeksplorasi musik sebanyak mungkin dengan keyakinan bahwa ekpslorasi multigenre Saya maka akan menghasilkan keluasan referensi musikal alias ‘enggak ada ruginya.’ Walau tentu keputusan Saya bermusik lintas genre akan mendapat kecaman para kaum ‘fanatis dangkal’ yang suka bilang tipe orang seperti Saya tak konsisten karena gonta-ganti musik.

Dari beberapa aliran musik yang sudah Saya mainkan. Saya merasakan nuansa yang berbeda, selalu berbeda. Ternyata tiap musik memang menimbulkan efek yang berbeda pada personal yang tengah mendengarkan atau memainkannya. Entah, Saya tak paham disiplin ilmu psikologi dan psikoanalisis jadi ya Saya tak akan mendalam membahas dari segi pendekatan dua disiplin ilmu itu. Namun berdasarkan yang Saya rasakan saja bahwa musik memang memberi efek berbeda yang signifikan untuk perasaan Kita.

Saya sempat bermain drum dalam beberapa aliran ini: Pop, Black Metal, Punk, Grunge, dan belakangan Jazz. Adalah perasaan melankoli yang Saya dapat ketika menggebuk drum untuk musik pop. Karena memang musik itu dibuat untuk bermelankoli bukan? Mendayu, maka Tenaga pukulan Saya ke drum pun juga kalem kalem saja. Dengan mood biasa. Tiba-tiba Saya bermigrasi dari pop ke Black Metal karena Saya direkrut sebuah band black metal asal karanganyar Solo. Lantas saya berpindah dari melankoli pop menuju brutalnya Black metal. Rasa yang Saya dapat dari musik sempalan metal itu adalah Subversif. Ingkar dan berontak terhadap apapun yang dianggap suci. Merasa profan dan beringas, maka Saya pukul drum dengan tenaga penuh, menggebu-gebu. Tempo cepat, dibumbui headbanging dan sedikit atraksi berbau provokatif. Jika di black metal Saya mendapat atmosfer kegelapan, maka Resistensi adalah Kata yang dapat mewakili perasaan yang Saya dapat ketika bermain drum dalam musik punk. Tolak semua yang mapan, anut nihilism dalam hidup, kencingi pemerintahan yang otoriter. Dengan semangat perlawanan mengebu-gebu yang ditawarkan punk, maka Saya iyakan dengan menghajar membran drum keras-keras, lebih keras dari ketika bermain black metal. Kadang juga dibumbui vandalisme sedikit karena berniat menjebolkan membran drum itu yang jelas bukan milik sendiri. Lain lagi saat akhirnya Saya menemu sebuah aliran yang sempat gede di tahun 90-an bernama Grunge. Kata yang merepresentasikan perasan Saya ketika masuk kancah grunge adalah Alienasi. Depresi, terasing, benci setengah mati pada Guns n Roses. Perasaan bahwa semua orang membenci Saya, maka Saya harus lampiaskan dengan menggebuk drum tenaga penuh. Variasi drum yang Saya obrak-abrik dengan harapan usaha pelampiasan saya dapat menghilangkan perasan depresi dan tertekan. Oke untuk yang terakhir. Memang baru sekali itu Saya bermain drum dalam jazz. Dulunya saya kurang bisa menikmati musik itu yang Saya anggap terlalu rumit. Belakangan baru Saya tahu rasanya bermain drum dalam jazz pasca jamming di pagelaran Jazz Mben Senen  di bentara budaya Jogja. Maka kata yang mewakili perasaan Saya saat bermain musik jazz adalah Autis. loh, kok autis? bukankah harusnya jazz bersifat sophisticated? Entahlah, mungkin Saya harus Tanya pada mereka yang sudah lebih lama berkecimpung di musik ini untuk tahu mana yang benar. Tapi memang autis yang Saya rasa ketika berjazz ria. Dunia sekitar tiba-tiba hilang. Ratusan orang yang menonton Saya di pagelaran itu tiba-tiba melenyap, tak terasa kehadirannya. Saya punya sebuah dunia sendiri yang dalam dunia itu orang lain menghilang dan hanya ada Saya serta 3 orang lain yang Saya undang untuk bermain musik bersama Saya. Mungkin penggambaran Saya terlalu berlebihan. Tapi benar adanya, bermain jazz menimbulkan autisme dalam diri. Kita tiba-tiba masuk dalam dunia kita sendiri. Berusaha mengeksplorasi musik yang kita mainkan, hanya memperhatikan rekan bermusik tentu. Saya menutup mata ketika bemain, konjungtiva juga. Hanya membuka kelopak terkadang. Karena dengan merem Saya benar-benar bisa meresapi perasaan autis yang tengah Saya dapatkan. Maksudnya adalah begini, jazz adalah musik yang memberi kebebasan bagi musisinya untuk bereksplorasi dan menjajal kemampuan diri hingga batas tertinggi. Terkadang saking tingginya sampai membuat musisinya mengawang melayang. Menjiwai. Itu yang Saya dapat dari bermain drum dalam jazz. Autis, mengawang, menutup mata, melupakan dunia sekitar.

Ini bukan komparasi atau perbandingan beberapa aliran musik, hanya sebuah usaha mengapresiasi musik. Agar Kita jadi tahu bedanya perasaan yang Kita dapat dari berbagai musik tersebut. Celakanya sekarang Saya sedang kecanduan autisme yang dihasilkan oleh jazz. Jadi ijinkan Saya mengaku wahai musik Jazz. Saya mengalami dependensia akan autisme yang Kamu berikan padaku.

ARIS SETYAWAN

Karanganyar, 16 Juni 2010

( for more shits and word, please log on to http://www.arisgrungies.multiply.com

2 tanggapan untuk “Jazz=Autis=Dependensia

  1. Hai Aris! 🙂

    Perlu diwaspadai oleh tiap musisi jazz yang sedang pentas bahwa mereka sedang bermain untuk penonton, bukan hanya untuk diri mereka sendiri. Jadi sebaiknya autisme itu tidak membuat musik yang mereka mainkan menjadi sulit dimengerti penonton. Iya kan? 😉

  2. hehehehe iya. itulah salahnya juga autisme dalam jazz. karena terlalu asik dgn dunia sendiri seringnya kebablasan ngelantur dalam improvisasi dan eksplorasi yg rumit2. dan itu yg membuat penonton menganggap jazz itu rumit. hohohoho

    salam kenal ya, facebook nya sudah di konfirmasi belum ya saya add?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.