
Ada sebuah band metal kenamaan asal satu kota besar pulau Jawa yang vokalisnya penyiar Radio. Dalam siarannya beliau ini selalu mencerca, mengejek, serta merendahkan band-band mainstream Indonesia masa kini yang konon beraliran ‘Melayu.’
Yang lantas patut dipertanyakan adalah, apakah metal lebih keren dari melayu? Hingga metalhead penyiar itu sebegitu bencinya pada band-band melayu serta merasa berkewajiban mencerca?
Sekarang musik rasa melayu memang sedang digandrungi, ‘Melayu wave’ ini belum mampu hilang dari industri musik negeri beberapa tahun ini (bahkan makin ramai). Beberapa pihak menggugat melayu karena alasan yang dangkal: melayu adalah musik kampungan, norak, jijay, personelnya tampang preman, dan lain sebagainya. Tanpa mereka ketahui bahwa pengusung musik melayu juga akan melakukan hal yang sama dengan menggugat metal sebagai musik berandalan, enggka jelas, teriak-teriak, dan alasan dangkal lain. Jadi kenapa kita tak coba menggugat musik Melayu dengan alasan yang lebih make sense? Dan enggak hanya menggugat hanya karena tampang kampung personelnya.
Subjektivitas/keberpihakan adalah selalu kata kunci dalam segala hal yang berhubungan dengan ‘selera.’ Kita ibaratkan seseorang yang suka bakso belum tentu suka sate kambing, dan karena seleranya hanya pada bakso itu. Maka, setengah mati dipaksa makan sate pun pasti ogah.
Begitu juga musik, ketika kita suka satu musik maka orang lain belum tentu suka musik kita, karena selera mereka pasti berbeda, dengan begitu kita tidak bisa menggugat melayu atas dasar selera, karena tiap orang punya selera sendiri dalam hal musik.
Bagi beberapa pihak yang menggugat melayu hanya karena penampilan, sungguh alasan dangkal untuk menggugat. Justru yang perlu kita gugat dalam wabah merebaknya musik melayu ini bukan perkara tampang mereka, tapi perlu kita gugat mental kapitalis para pelaku bisnis musik yang demi profit pribadi melakukan propaganda penyeragaman selera musik, penyeragaman style dan penampilan para musisinya, penghalalan lip-sync dan playback dalam penampilan live. Semua diawasi oleh perpanjangan tangan para pemodal itu dgn terbentuknya ‘manajamen artis’ sebuah divisi baru dalam perusahaan rekaman yang tugasnya mengatur (baca: menguasai) segala tingkah artis yg bernaung di bawah mereka hingga tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Manajemen yang harusnya jadi urusan internal band kini jadi kekuasaan label demi mempermudah menguasai artisnya. Ketika dirasa band itu sudah tidak menghasilkan lagi maka habis manis sepah dibuang. Band itu akan dihilangkan dari peredaran untuk diregenerasi dengan band baru. Itulah kenapa tipikal band melayu sekarang hanya muncul untuk menjual 3 single lantas 2 bulan kemudian hilang entah ke mana dan tahu-tahu sudah ada band baru lain dengan nama ajaib.
Lalu siapa yg dirugikan dalam bentuk bisnis musik seperti ini? Jelas musisi dan pendengar. Musisi benar-benar tak punya kewenangan mengelola sisi kreativitas dan finansial karena mereka sepenuhnya hanyalah alat bagi pemodal (produser/label) yang bila alat itu rusak tentu segera dibuang, jadi janganlah menggugat musisi melayu, seperti Kata Kangen Band “kami hanya berusaha cari makan.” Mereka hanyalah korban dari ketamakan para pemodal. Pendengar juga rugi karena tidak disodori pilihan musik lain. Mereka hanya disuguhi epigon, musik dengan tipikal lirikal dangkal yang tidak mendidik menjadi produktif, musik dengan kualitas audio dan pengolahan suara yang jelek dan bikin kuping sakit yang penting bisa untuk sing along, penampilan live palsu dengan lip-sync dan playback.
Menurut Saya semua itu adalah kerugian, tapi kenapa semua pendengar musik melayu ini tidak merasa dirugikan atau ditipu? Karena mental para pendengar sudah berhasil diseragamkan para pemodal hingga tak ada lagi perbedaan mana musik yang bagus dan jelek bagi mereka.
Jadi wahai Mas vokalis band metal, kalau mau mencerca jangan ke musisi melayunya. Mereka hanya korban industri. Lebih baik cerca dan gugat para pemodalnya. Karena merekalah yang membuat wabah epigon dan keseragaman musik melayu ini demi keuntungan pribadi.
Lagipula semakin kamu cerca dan maki musisi melayu di media, bukan semakin tenggelam tapi malah semakin tenar mereka.
“Publisitas berlebih adalah media promosi paling murah, bahkan gratis. Semakin banyak kontroversi melingkupi suatu hal. Makin banyak orang membicarakannya, dan makin mudah terjual sesuatu itu.”
Jadi Mas, makin banyak kamu mengejek band-band melayu itu, justru kamu sedang membantu mempromosikan band mereka. Seperti satu ormas keagamaan (baca: fasis) yang menolak dan mencerca film Menculik Miyabi, tapi tak sadar karena kontroversi yang mereka timbulkan justru adalah promosi ampuh untuk film itu atau film birunya Maria Ozawa, hingga anak SMP yang tadinya tak tahu Miyabi itu siapa jadi berburu DVD-nya ke Glodok.
Kalau kita memang tak suka dengan melayu, lebih baik diam aja deh. Toh sesuatu yang terlalu seragam biasanya pada waktunya akan tiba pada titik jenuh dan menghilang dengan sendirinya.
Jangan menggugat melayu karena merasa diri paling maju dan mereka kampungan, karena melayu akan balik menggugat dan berkata “Kami hanya cari makan.” Ada baiknya kita gugat saja para pemodal industri musik itu, karena ketika mereka berdalih “kami hanya cari makan” kita akan bisa jawab “dengan cara memperbudak musisi dan memperbodoh pendengar?”
ARIS SETYAWAN
Yogyakarta, 8 Mei 2010.
( Created and sent from my old N-Gage. For more shits and word please visit http://www.arisgrungies.multiply.com )