
Ia kembali berceloteh. Karena memang demikianlah rutinitas hariannya. Diberitakannya pada dunia apa yang terjadi, apa yang menyebabkan sang malam terlambat datang. Atau apa yang membuat mentari enggan bersinar. Dibeberkannya segala kebobrokan alam, atau rakusnya spesies kita mengeruk bumi. Bumi yang semakin rapuh dan merenta termakan usia. Ialah temanku, sang juru siar. Yang berwajah manis kemalu-maluan tapi menyenangkan. Yang sering berbusa-busa mulutnya saat mendongeng di depan perangkat siar. Marilah kuceritakan padamu tentangnya.
Ia masih duduk di sana, bahkan sang surya makin garang membakar bumi. Awan-awan cumulus nimbus entah kapan bisa bergerombol macam kawanan domba. Terdengar suara ceklik-ceklik Mouse nan merdu, dengungan kipas tua yang mencegahnya kepanasan. Desahan nafasnya menandakan lelah, tapi ia masih bertahan. Ketika aku berkunjung ke ruang tempat ia bertahan, ia masih terdiam di sana. “apa abang tak lelah dengan kehidupan ini?” tanyaku padanya. Masih sempat tangannya menggenggam mouse seraya berkata “This is my job.”
Oh ya, tentu saja demikian. Aku seperti terserang amnesia saja, atau aku memang benar-benar lupa. Bahwasannya aku harus terbiasa ngomong Inggris di hadapnya. Sang juru siar yang tergila-gila dengan istilah asing, juru siar yang merasa cute and also handsome. Juru siar yang merindukan cinta. Bisa saja ia membual sampai berbusa mulutnya mendefinisikan cinta kepada para pendengarnya. Bisa saja ia berkhotbah pada para jemaatnya mengenai keindahan cinta terakhir, dan apapun yang ia bilang, para jemaat akan tetap percaya. Tapi satu hal yang tetap tak bisa dimungkiri. Sang juru siar merindukan cinta.
Kisah cinta diawali beberapa bulan yang silam. Masih terngiang jelas di otakku saat ia dengan muka sembab seperti habis pingsan berkata : “ternyata pacaran amat memuakkan, aku ditipu. She’s never love me. She just want to hurt me. Aku hanya dijadikan cermin untuk merefleksikan hidupnya yang membosankan. I don’t wanna fall in love again.” Ya, masih segar di ingatanku saat ia curhat mengenai cinta pertamanya. Yang ia katakan amat indah sampai-sampai ia rela mengiris urat nadinya demi mempersembahkan darahnya buat sang kekasih yang sedang dahaga. Yang ia ucapkan 3 bulan yang lalu itu cuma bertahan 1 bulan. Kesudahannya, ia bertandang kembali ke hadapku, dan berkata : “Percuma kupotong urat nadiku buatnya, bahkan sekalipun kukeluarkan jantungku dari rongga dada kemudian kuperas biar bisa dapat darah dua liter. Ia takkan mau meminumnya. Dahaga yang dia rasa cuma bisa dihalau dengan air mata. Sedang aku adalah insan yang jarang meneteskannya. You know guys? Love just make me sick.” Ia terus berkata menyesal telah menyerahkan cinta pertamanya buat sang gadis pujaan yang ternyata hanyalah reinkarnasi Marie Antoinette. Ia kembali ucapkan janji bahwa ia kapok jatuh cinta. Ia bersumpah takkan pernah jatuh cinta lagi.
Seperti yang kubilang barusan. Itu beberapa bulan yang lalu. Dua pekan kemarin. Ia berkunjung kembali. Saat matahari beranjak dari peredaran, jangkrik bersiap dengan koornya. Angin makin ganas berhembus, rembulan seperti hendak memunculkan segenap kecongakannya dengan bersinar bulat penuh. Dan ia tiba, mukanya amat berseri, lagaknya sedikit salah tingkah. Sorot matanya amat tajam dan menandakan vitalitasnya tengah di titik tertinggi. Dengan amat ringan ia berujar pelan : “wow kau pasti takkan percaya, wajah itu memancarkan sejuta pesona. Bahkan ia serasa melayang ketika berjalan. Sungguh sebuah mahakarya, kecantikan tiada tara. And you know? I’m fallin in love. Aku jatuh cinta pada gadis itu.” Kalian percaya yang dibilangnya barusan? Temanku sang juru siar baru saja berujar, ia jatuh cinta lagi. Terdengar sekawanan kodok bangkong bernyanyi. Entah gembira mendengar berita ini atau hendak memperolok.
Lima menit yang lalu aku baru sampai di kediaman. Setelah bertarung dengan keganasan jalan raya, bergelut dengan tebalnya debu jalanan, dan berebut dengan sang waktu di sela-sela kemacetan. Aku selamat sampai rumah. Seraya melepas rasa pegal di pundak, aku nyalakan radio. Dan coba kalian ikut mendengarkannya. Temanku itu, sang juru siar kembali memulai khotbahnya tentang cinta. “cinta adalah anugerah yang maha kuasa, cinta adalah sebuah pembuktian diri. Kita harus mencurahkan segenap cinta kita pada semua orang. Tapi yang terpenting, adalah kepada sang kekasih hati. Kita harus menjatuhkan pilihan kita kepada pribadi yang tepat, pastikan bahwa makhluk yang kita cintai adalah sosok yang akan selamanya menjadi curahan rasa cinta. Kalau yang seperti demikian belum kita temukan, lebih baik kita jangan berani jatuh cinta dulu. Karena suatu saat nanti pasti kita akan terjatuh. Atau istilah mudahnya, karena salah memilih pasangan kita akan mudah putus. Ok para pendengar. Nanti saya masih akan menyambung kembali bahasan mengenai cinta. Setelah pesan-pesan berikut ini.” Nah, itu dia yang kumaksud. Temanku itu, sang juru siar. Sepertinya ia sudah bertransformasi menjadi seorang filosof cinta, dan aku hampir muntah dibuatnya. Apa yang ia khotbahkan sungguh berbeda jauh dengan yang ia jalani.
Jam 7 malam aku bertandang ke tempat kerjanya. Ia masih bertugas, hal yang mana membuatku terheran-heran. “ kenapa siaran terus seharian? Apa enggak ada penyiar lain?” tanyaku padanya. Dan kalian tahu apa jawabnya. Ia malah terdiam selama setengah menit. Bibirnya manyun 2 centi ke depan. Wajahnya pucat meringis seperti menahan sakit. Mukanya kacau balau macam orak-arik telur. Pokoknya ia seperti tengah menahan beban 10 kilo di pundak. Setengah menit kemudian baru ia berkata : “shit, why always me. Kenapa mesti aku yang jadi korban, kau tahu? Ternyata gadis itu sudah berpasangan dengan Dedi, anak lurah yang mobilnya velg racing itu. Padahal aku sudah cinta mati sama dia. Tapi cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Ah, tapi ya sudahlah tak perlu sedih. Toh aku seorang lelaki. Pasti besok akan ada gadis yang jatuh hati padaku.” Gatal sekali rasanya lidah ini hendak mengkoreksi : pasti besok akan ada lagi gadis yang membuatku jatuh hati. Aku mulai bosan dengarkan segala perihal cintanya yang memuakkan ini.
Aku putuskan angkat kaki dari tempat kerjanya malam ini juga. Aku sudah tak tahan lagi. Lalu sampai mana persoalan ini akan selesai. Di mana kiranya perahu yang penuh pertanyaan ini berlabuh. Cuma problematika yang sepele, temanku itu, sang juru siar yang tiap harinya berkhotbah tentang cinta sejati. Namun, kenyataannya ia demikian mudah jatuh cinta. Persoalan ini nyaris jadi sebuah paradoks. Paradoks yang tak ada solusi buat mengatasinya. Aku lama-kelamaan jadi berpikir, kapan juru siar itu bakal menemukan cinta sejati yang selalu dibualkan itu? Di mana perasaannya bakal berlabuh? Atau bisa jadi perahu cintanya tak akan menemukan pelabuhan buat tambatan hati. Perahunya bakalan kekal abadi berlayar mengarungi samudera asmara. Bukan asmara yang menyejukkan, Asmara dengan bahasa yang mudah dipahami nalar pikir manusia biasa. Tapi asmara yang menciptakan kebingungan. Sebuah kebingungan massal.
Untung saja aku tak bakal tergiur cinta semudah sang juru siar. Aku bakalan menjatuhkan jangkar asmara ke tempat yang tepat. Aku akan mengembara bersama tiupan tornado demi mendapatkan tambatan itu. Aku tak akan mengobral atau melakukan cuci gudang cinta demi mendapatkan kepuasan sejenak. Aku bukan seorang juru siar yang pandai merangkai kata-kata demi menarik pendengar. Aku bukan seorang juru siar yang berkemampuan dua macam bahasa asing. Dan aku cuma temannya, teman dari seorang juru siar yang merindukan cinta.
Tanpa kuperintahkan, tiba-tiba langkahku terhenti di sudut jalan perumahan ini. Mataku tertuju pada satu titik. Dari kejauhan aku menatapnya. Wow, wajah itu sungguh menyejukkan. Seandainya aku bisa merasakan kehalusan dari wajahnya. Andai aku bisa bersandar di bahunya. Andai aku bisa beradu pandang dengan sorot matanya yang menyejukkan. Langkah kakinya yang ringan, keindahannya bagai atmosfer kesegaran yang memayungi bumi dari bahaya meteorit. Sungguh aku terpukau, aku terpesona. Aku terpesona dengan baju tanktop yang dia kenakan. Aku jatuh hati dengan rok mini yang bergantung di badannya. Aku kagum dengan kesintalan bodinya. Oh, Tuhan, apakah ini yang namanya cinta? Ya, aku telah jatuh cinta. Aku menemukan pelabuhan yang tepat buat menambatkan jangkar cintaku. Aku jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta. Kalian percaya ini? Aku jatuh cinta…
***
Petang ini aku duduk santai di depan rumah, seraya mendengarkan radio, dan kalian tahu siapa penyiarnya. Temanku itu, sang juru siar yang merindukan cinta. Dan kalian percaya apa yang ia ucapkan? Begini yang ia katakan : “baiklah para pendengar, satu kesimpulan yang bisa saya ambil dari bahasan hari ini adalah sebagai berikut. Kita harus memperjuangkan cinta. Kita harus hidup di dunia ini dilandasi rasa cinta pada sesama. Tapi yang terpenting, kita harus menjatuhkan cinta kita pada pilihan yang tepat. Janganlah anda mudah jatuh cinta pada seseorang. Pastikan bahwa seseorang itu adalah pilihan yang tepat. Sekali lagi saya tekankan, jangan mudah jatuh cinta pada……”
Untung saja aku masih bisa menahan laju isi perutku agar tidak meloncat keluar dari dalam. Mana ada orang yang mau lagi percaya dengan bualannya itu. Ia terus berucap agar jangan mudah jatuh cinta. Tapi lagaknya sungguh seperti seorang pengobral cinta. Untung saja aku bukan sepertinya. Temanku itu, sang juru siar yang merindukan cinta. Untung saja aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta. Eh, siapa yang lagi mengangkat jemuran di rumah depan itu, kayaknya tetangga baru. Wow, cantik nian gadis itu. Sepertinya…aku telah jatuh cinta padanya…
SELESAI
Baradatu, Way Kanan, Lampung, 04 September 2006.